Bismillah
Manusia dahulu satu umat, yakni di atas tauhid. Umat manusia tidak melakukan kesyirikan hingga pada masa Nabi Nuh alaihissalam, sebagian pendapat yakni di masa antara Nabi Adam dan Nabi Nuh. Namun fokus tulisan kali ini bukan membahas perbedaan itu, domain-nya ahli ilmu.
Tulisan kali ini merupakan hasil pandangan beberapa pakar, dan dua pakar di antaranya adalah muslim terpelajar. Jika membaca hingga selesai, Insya Allah meminimalisir kesalah-pahaman.
SEJARAH Afrika, dalam arti kajian sejarah yang benar-benar menggali benua tersebut dinilai sangat minim bahkan hingga di pertengahan abad 20 sekalipun. Di awal tahun 60-an, Prof. H.R. Trevor Roper, seorang sejarawan dari Oxford, pernah berkata, “Mungkin di suatu masa nanti akan ada sebagian sejarah Afrika yang diajarkan. Namun pada hari ini, tidak ada itu yang namanya sejarah Afrika, yang ada adalah sejarah orang-orang Eropa di Afrika. Selebihnya adalah kegelapan[1].”
Di suatu waktu dalam hidup kita, mungkin sempat terbesit atau tertanam anggapan bahwa Afrika merupakan benua “hitam” yang begitu menderita oleh kemiskinan dan wabah kelaparan, dan terkadang oleh wabah penyakit yang mematikan.
Cukup ganjil memang jika membayangkan bahwa Afrika adalah benua dengan sejarah yang bertolak-belakang dengan apa yang terjadi akhir-akhir ini dimana terjadi peperangan terus-menerus serta mayoritas penduduknya yang berada dalam taraf primitif untuk ukuran abad 20 dan 21, dimana banyak dari mereka yang masih berlari-lari mengejar hewan buruan mengenakan celana dalam dan tombak kayu di tangan. Meski tidak sepenuhnya keliru, namun Afrika tidak melulu tentang sebuah daratan yang menjadi latar tayangan dokumenter singa yang mengejar mangsanya, tentang gajah, jerapah, dan kawanan kerbau yang berlarian di alam liar dan berhenti di suatu sumber air dimana buaya menunggu tubuh-tubuh gemuk mereka untuk dijadikan santapan.
Namun demikian, Mesir dengan peradaban maju, dengan piramida-nya, dengan Sungai Nil-nya, serta negara Sudan dengan ribuan piramidnya meski tidak setenar piramida-piramida di Mesir, serta negara-negara seperti Maroko, Al Jazair, dan Tunisia, merupakan negara-negara yang mengangkat benua Afrika menjadi benua yang diperhitungkan dalam sejarah umat manusia. Memang negeri-negeri “maju” tersebut berada di wilayah utara benua Afrika, namun demikian, di pedalaman Afrika sekalipun telah terdapat suatu peradaban maju sejak zaman purba, yakni maju secara spiritual.
Tidak seperti yang disangka oleh pengusung teori evolusionis bahwa monoteisme haruslah ada belakangan oleh karena konsep itu terlalu maju untuk tatanan masyarakat primitif. Di Afrika, bekas-bekas agama monoteisme tampak begitu kentara. Seperti yang sudah dikemukakan penulis di awal buku ini, bahwa monoteisme tidak selalu harus dikaitkan dengan tauhid, namun dengan kepingan-kepingan puzzle yang dapat dikumpulkan, semua itu mengarah pada satu hal, yakni kesyirikan memang muncul belakangan.
Monoteisme Purba??
Dr Abdullah Hakim menyebutkan bahwa terdapat tanda-tanda adanya ajaran monoteisme yang tampak pada suku Burundi. Di kalangan mereka, dikenal beberapa kata sifat yang disematkan pada tuhan.
“Bisabwe” yang berarti“dia saja yang layak diembah.”
“Habimana” yang berarti “hanya dia yang ada.”
“Hazikimana” yang artinya“hanya dia yang menyelamatkan.”
“Habonimana” “Hanya dia yang melakukan apa yang dikhenendakinya.
“Birori” yang berarti “hanya dia yang mengawasi segala sesuatu.”
Suku Akan di Afrika Barat juga mengenal tuhan yang mereka sebut sebagai “dia yang melihat segala sesuatu.” Sedangkan suku Yoruba mengenal tuhan yang “maha bijaksana“ dan juga “dia yang mengetahui hati”. Suku Banyawarda sebagaimana suku Zulu di Afrika bagian selatan mengenal tuhan yang “bijaksana”, sedangkan suku Bacongo meyakini tuhan yang “dia tidak diciptakan oleh apapun dan siapapun dan tidak ada siapapun selain dia.” Suku Zulu juga menggunakan atribut ”Umdali” yang berarti “sang pencipta”.
Canon Titcomb berkata, “Zulu tidak memiliki berhala melainkan mengenal satu kekuatan yang “maha berkuasa” atau disebut juga “yang ada pertama kali” dan “pencipta segala sesuatu dan segala manusia”[1]. Dalam grup bahasa di belahan selatan benua Afrika, terdapat nama tradisional untuk tuhan yaitu “Ramasedi” yang berarti “dia yang darinya dating cahaya.”[2]
Di Madagaskar, seorang bernama Pere H.M. Dubois mengadakan studi khusus tentang wilayah tersebut menemukan bahwa kepercayaan monoteisme mendahului kepercayaan animisme dan konsep-konsep manisme, atau penyembahan terhadap roh orang mati. Nama sesembahan kuno penduduk Madagaskar ini mereka sebut sebagai Zanahary dan Andria Manitra. Akan tetapi jelas hal ini bentuk penyembahan terhadap dua sesembahan atau deiteisme dan menyelisihi koridor monoteisme.[3]
Sementara Canon Titcomb dalam “Prehistoric Monotehism” juga mengutip sebuah bait syair penduduk asli Madagaskar yang ia sinyalir sebagai jejak ajaran monoteisme.
Jangan kira lembah itu rahasia, karena tuhan ada di atas kita
Keinginan seseorang dapat terwujud oleh pencipta, karena tuhan sendiri-lah yang mengatur
Lebih baik bersalah kepada manusia ketimbang bersalah kepada tuhan.
Berbeda dengan temuan seorang antropologis bernama James W. Welch yang dituangkan dalam karyanya berjudul “The Isoko Tribe” tahun 1934 di sudut barat laut delta Sungai Niger.
Welch berkata,
“Agama-agama mereka bermula dari keyakinan adanya wujud maha kuat bernama Oghene, yang diyakini menciptakan seluruh dunia dan seluruh manusia, termasuk suku Isoko. Oghene menetap di langit dan menurunkan hujan dan sinar matahari dan menampakkan murka-nya dengan guruh.Oghene bago Isoko melampaui pemahaman manusia, tidak berkelamin, dan hanya dapat diketahui melalui perbuatannya yang menuntun manusia. Oghene selalu menghukum kejahatan dan memberi balasan baik terhadap perilaku baik.[4]
Kemudian seorang antropolog bernama Don Richardson menulis dalam sebuah bukunya berjudul “The Eternity in Their Hearts” – yang dipublikasikan tahun 1981 – menyimpulkan temuannya dalam sebuah percakapan antara antropolog dengan seorang penduduk suku asli pedalaman Afrika.
Di padang pasir Kalahari, di hutan bernama Ituri, dan di tempat-tempat lain di sekitarnya yang tak terhitung jumlahnya, para antropolog muda masuk ke dalam pertanyaan-pertanyaan mendalam [tentang keyakinan suku-suku lokal – pen].
“Siapakah yang menciptakan dunia?”Penduduk lokal menyebut satu kekuatan yang berada di langit.
“Apakah dia baik atau jahat?” Tanya antropolog.
“Baik tentu saja.”
Tunjukkan patung yang kalian sembah sebagai representasi sesembahan kalian.”
“Patung apa? Tidakkah kalian mengetahui bahwa dia tidak boleh diserupakan dengan sebuah patung?”
Don Richardson menambahkan bahwa 90% dari agama-agama tradisional di dunia diawali dengan monoteisme. Kesimpulan ini ia ambil melalui ribuan misionaris yang bertugas.[5]
Selain itu seorang cendekiawan muslim bernama Dr Abdullah Umar Farooq mengatakan mengenai penyebab merebaknya kesyirikan di Mesir khususnya dan di belahan dunia lain di peradaban kuno. Ia berkata bahwa ketika suatu kaum menaklukkan kaum lain dalam peperangan, pihak penakluk meletakkan sesembahan mereka di kuil penyembahan kaum yang ditaklukkan. Hal ini agar terjalinnya “perdamaian” dengan kaum yang terkalahkan. Mereka tidak saling melarang satu sama lain untuk menyembah tuhan-tuhan mereka sendiri. Akhirnya terjadilah praktek politeisme. Jelas tampak bahwa “toleransi” ini bermuatan politis dan digunakan untuk melanggengkan kekuasaan meski harus mempertaruhkan keyakinan mereka. Pluralisme ini mendorong terciptanya pertumbuhan praktek politeisme di peradaban-peradaban kuno dan tidaklah berlebihan jika pada abad ini, toleransi dan pluralisme semisal ini masih dapat ditemui.
Mengenai anggapan barat tentang peradaban manusia kuno yang didominasi oleh kesyirikan, Dr Abdullah Umar Farooq mengatakan bahwa kesyirikan adalah fakta yang memang tidak harus dan tidak bisa di sanggah, namun ia muncul sebagai inovasi baru.Adapun micro religion atau politeisme bukanlah tipikal agama primitif. Agama di Mesir kuno, Babilonia, dan Yunani kuno dan Romawi memang politeistik.
Politeisme muncul saat suku-suku dikumpulkan bersama melalui penaklukkan, sehingga mereka memiliki tuhan-tuhan yang berbeda, dan mereka meletakkannya di kuil pemujaan (pantheon). Dan ini setidaknya yang terjadi di Mesir kuno. Di setiap kota-kota di Mesir kuno terdapat tuhan-tuhannya masing-masing. Politeisme adalah realitas masa lalu, namun bukanlah ia tipikal agama primitif.”[6]
Monoteisme berbeda dengan Tauhid meski ada kemiripan. Ketika disebutkan monoteisme, ia tidak mewakili tauhid. Namun monoteisme lebih mendekati Tauhid ketimbang politeisme, panteisme, henoteisme, triteisme, dan isme-isme kufur lain. Beberapa kesempatan, kedua konsep ini sempat penulis diskusikan dengan Ustadz Nidhol Masyhud hafizhahullah, dan telah penulis tuangkan dalam tulisan lain.
Monoteisme meninggalkan jejak di peradaban purba, tidak seperti yang kebanyakan secular mind sering tonjolkan, bahwa peradaban purba adalah peradaban musyrik mutlak. Anggapan ini mereka giring sebagai legitimasi sains akan konsep evolusi mereka.
At first, the truth will piss you off… But it will set you free..
Allahu A’lam
=====
Catatan Kaki:
[1] Titcomb J.H., Prehistoric Monotheism. Transaction of the Victorian Inst. Vol 8, 1873, hal. 145.
http://www.creationism.org/victoria/VictoriaInst1872_pg141.htm
[2] Essa Al-Seppe, (rahimahullah), Some Points of Similarity between Islam, Africa and the African, Africa Muslim Agency, Fordsburg, South Africa sebagaimana dikutip oleh Dr Abdullah Quick dalam Islam in Africa, hal, 14.
[3] Samuel Marinus Swemer. D.D. L.H. D., The Origin of Religion – Evolution or Revelation. 3rd and Revised Edition. Loizeaux Brothers, New orl, 1945. Hal, 67.
[4] Ibid, hal. 81.
[5] The Concept of Monotheism Since Ancient Times. Submission.info.
[6] Dr Abdullah Umar Farooq. May, 18, 2018. Primitivie Monotheism, Beowulf. Retrieved from https://www.youtube.com/watch?v=JIQOUJ-D5Ko