Adakah Monoteisme Yunani Kuno?

Dalam masyarakat Yunani kuno, ide dan konsep tentang moralitas dan agama telah ada meski mengambang dan samar. Syed Naquib Alattas mengatakan bahwa ini merupakan indikasi adanya bekas (atsar) ajaran para Nabi terdahulu. Sebab sebagian para pemikir Yunani pun mengambil “wisdom” dari timur saat mereka melakukan perjalanan ke negeri-negeri “orient”, termasuk Mesir. Syed Naquib Alattas melanjutkan dalam Syarahan Perdana-nya tahun 1996 [ https://www.youtube.com/watch?v=6yJ5JQ6HaB4 ], munculnya moralitas dan etika dalam alam pikir Yunani bukanlah berasal dari akal-akal manusia, melainkan dari Allah sejak awal. Meskipun demikian, pelacuran dan perzinaan pun tetap berjalan dalam sendi kehidupan masyarakat Yunani.

Bersama Romawi, Yunani merupakan di antara “bahan baku” peradaban Barat dan dalam filsafat mistisme Yunani, ada satu pendekatan teologi yang sering dikaitkan dengan doktrin monoteisme. Pendekatan ini menyatakan bahwa cara paling asasi untuk mengenal tuhan adalah melalui deteksi, bukan penalaran (through detection not reasoning). Pemikiran Ammonius Saccas ini yang dilanjutkan oleh para penerusnya seperti Plotinus dan Porphyry mendorong kemunculan idealisme pemikiran Plato [1].

Pendekatan platonic ini juga sering dikait-kaitkan dengan di antara pokok teologi Islam; bahwa mengenal Allah hanya dapat dituju dengan wahyu dan tafakkur terhadap ciptaan-Nya, sebab, seluruh yang ada menunjukkan keberadaan sekaligus kekuasaan-Nya. Sebabnya lagi, akal manusia terbatas dan seringkali salah dan keliru. Terlepas dari itu, ada perbedaan mendasar antara idealisme Plato ini dengan akidah Islam.

Pandangan Plato di atas menyodorkan premis bahwa tuhan tidak terjangkau oleh manusia, dan manusia tidak memiliki kemampuan untuk mendeskripsikan atribut tuhan, sebabnya adalah karena tidak ada yang menyerupai tuhan di dunia ini. Tuhan juga melampaui ekspresi verbal yang biasa digunakan untuk menggambarkan benda-benda yang terlihat. Plotinus bahkan menyatakan, tuhan tidak bisa dideskripsikan dengan pikiran, artinya, pikiran tidak bisa mengenal tuhan.

Semisal dengan Plato, terdapat juga tokoh bernama Xenophanes (570-475 SM) yang memiliki konsep tentang tuhan yang juga dianggap memiliki nuansa monoteistme. Namun apakah benar konsep tuhan bagi Xenophanes adalah tuhan yang terdapat dalam kitab-kitab suci agama Ibrahim? 

Xenophanes Dan Monoteisme

Di antara pandangan penting Xenophanes adalah penolakannya terhadap antropomorfisme, yakni penyerupaan tuhan dengan manusia, atau seakan-akan tuhan itu seperti manusia. Xenophanes memandang bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk mendeskripsikan tuhan itu layaknya seorang manusia, seperti mengenakan pakaian, dilahirkan, memiliki suara, dan memiliki wujud seperti manusia. Misalnya lanjut Xenophanes, orang Etiopia akan menggambarkan tuhan dengan dengan bentuk hidung orang-orang Etiopia dan warna kulit yang hitam. Bagi orang Thrakia tuhan mereka digambarkan memiliki mata biru dan rambut merah. Ia juga berkata, “Kalau seandainya sapi, kuda, dan singa mempunyai tangan dan pandai menggambar seperti manusia, tentunya kuda akan menggambarkan dewa-dewa seperti kuda, dan sapi akan menggambarkan dewa-dewa seperti sapi, dengan demikian mereka akan menggunakan rupa yang sama kepada dewa-dewa seperti terdapat pada mereka sendiri.[2]

Xenophanes juga menolak tuhan-tuhan yang banyak dan menekankan keesan tuhan. Katanya, “Tuhan itu satu adanya, yang terbesar di antara dewa-dewa dan orang-orang manusia, tidak serupa dengan makhluk insane dan tidak pula berpikiran seperti mereka.”[3]

Memang ide dari Xenophanes ini tampak mengusung doktrin monoteisme murni pada zamannya. Menetapkan tuhan itu satu dan tidak serupa dengan apapun bukan saja selaras dengan monoteisme namun juga sebagian dari prinsip-prinsip tauhid. Sebagian lainnya melangkah lebih jauh dengan memandang bahwa Xenophanes menganut agama monoteisme dengan tuhan yang sama seperti halnya agama samawi. Namun ternyata ini adalah klaim yang terlampau jauh jika menelisik konsep Xenophanes tentang tuhan lainnya.

alasannya adalah, pertama, konsep monoteisme dan politeisme tidak ada dalam alam pikiran orang-orang Yunani[4]. Kedua, Xenophanes juga menyebut “dewa-dewa” yang menunjukkan pengakuan adanya tuhan-tuhan lain selain tuhan yang esa dalam konsepnya. Ketiga, Aristoteles mengatakan bahwa Xenophanes memandang tuhan itu esa namun tuhan bagi Xenophanes itu adalah dunia itu sendiri. Dari klaim Aristoteles tersebut, keyakinan Xenophanes dapat kita masukkan ke dalam panteisme, yakni tuhan adalah semua – dan semuanya adalah tuhan.

Memang, kesaksian Aristoteles ini diragukan sebagai representasi konsepsi asli Xenophanes terhadap konsep akan ketuhanan Xenophanes.

Menurut K. Bertens, beberapa fragmen Xenophanes juga bertentangan dengan klaim Aristoteles, contohnya adalah dalam Diels, fr, 26, dimana Xenophanes menulis, “Senantiasa ia menetap pada tempat yang sama, tanpa gerak apapun, dan tidak pantas baginya berkeliling ke sana ke mari.[5]” Ini menunjukkan konsep tentang tuhan Xenophanes bertentangan dengan panteisme – sebuah paham bahwa tuhan menyatu dengan segala sesuatu. Namun demikian, banyak juga fragmen-fragmen Xenophanes yang bertolak belakang dengan pandangan Aristoteles tentang Xenophanes yang mengarah pada panteisme.

Kesimpulannya, konsep tentang agama dalam alam pikir Xenophanes tidaklah dapat terjawab pasti dan masih tertutup misteri. Dalam beberapa bagian ia mengusung nuansa henoteisme dengan menyebut tuhan-tuhan yang plural (dewa-dewa) serta adanya tuhan yang utama dan paling kuat, namun beberapa bagian lainnya ia menekankan pada keesaan tuhan dan membersihkan tuhan dari antropomorfisme (penyerupaan tuhan dengan manusia). Di lain tempat, testimoni Aristoteles pun menunjukkan Xenophanes condong pada panteisme namun beberapa fragmennya, khususnya fragmen 24-26, menunjukkan sebaliknya. Jika untuk menetapkan bahwa Xenophanes mengusung ajaran monoteisme saja dinilai mustahil, lantas anggapan bahwa Xenophanes mengusung agama tauhid di zamannya adalah konklusi yang terlampau jauh, terburu-buru, dan beresiko.

Sebagai catatan, istilah-istilah modern seperti monoteisme, politeisme, panteisme, tidaklah cocok untuk menangkap maksud Xenophanes[6] karena divisi posisi teologi itu tidak dikenal dalam alam pikir Yunani.

Tetapi Xenophanes memang memiliki kualitas personal yang dapat kita letakkan sebagai noble, misalnya ketika ia menentang aktifitas marathon dan tinju yang mana baginya keduanya tidak memberikan manfaat terhadap penduduk kota. Pandangannya ini merupakan ide yang nyeleneh di zamannya karena pertunjukan olah raga adalah hiburan-hiburan yang dapat diakses oleh rakyat Yunani adalah denyut nadi dalam society mereka. Terlepas dari misteri mengenai pandangannya tentang tuhan, Xenophanes telah mengusung konsep luhur tentang tuhan dan menentang konsepsi yang tidak layak bagi tuhanyang mendominasi mitologi Yunani melalui pemikir dan juga penyair di zamannya, hanya saja, hal itu tidak sampai pada derajat yang dapat diletakkan sebagai dalil bahwa dirinya menganut monoteisme murni, terlebih lagi tauhidiy.

Radikalisme Atribut “Tuhan”

Di abad pertengahan, para cendekia dari kalangan Yahudi mengadopsi doktrin Plato setelah seorang pembaharu dan “ulama” Yahudi yang mengenyam pendidikan Islam, Moses Maimonides (Musa bin Maimun), memberi modifikasi pada atribut ilahiah dalam Judaisme, di antaranya dengan menolak untuk menetapkan bahwa “tuhan sendirian tanpa sekutu”. Alasan penolakannya adalah karena persepsi “tidak ada sekutu” itu sendiri menandakan adanya atribut tambahan kepada tuhan, atau adanya sisipan opini manusia melalui bahasa. Pandangan Maimonides ini jelas merupakan cerminan dari doktrin neo-platonic.

Pada dasarnya bagi Plato, dalam karyanya Cratylus, manusia tidak dapat mengenal tuhan dan tidak dapat mengenal pula esensi tuhan. Nama dan sifat tuhan tidak berarti membuat manusia sungguh-sungguh mengenal tuhan. Nama dan sifat tuhan itu adalah opini manusia tentang tuhan yang lemah. Nama dan sifat itu dibuat manusia agar manusia memahami konsep ketuhanan itu sendiri.[7]

Ia membersihkan tuhan dari atribut-atribut yang disematkan oleh manusia kepada tuhan. Memang, Plato menolak pandangan bahwa manusia dapat mengenal tuhan dengan sesungguhnya melalui nama dan sifat, sebab, nama dan sifat adalah pendapat dan persepsi akal manusia tentang tuhan. Bagi Plato, manusia tidak akan bisa mengungkapkan esensi tuhan melalui bahasa dan penunjuk verbal yang biasa digunakan untuk mengidentifikasi materi. Kesimpulannya, Plato menolak penyifatan tuhan dengan sifat kemanusiaan (antropomorfisme).

Monoteisme Dan Tauhid

Monoteisme memang dapat dicapai dengan pendekatan filosofis seperti ini, namun tidak dengan tauhid. Dalam koridor tauhid, Nama dan Sifat Allah yang Allah kabarkan kepada manusia melalui wahyu (Al Quran dan Assunnah) itulah jalan untuk mengenal-Nya. Memahami Nama dan Sifat Allah juga harus berada dalam koridor tertentu agar tidak terjerumus pada kesalahan, koridor itu adalah, “Tidak ada yang serupa dengan-Nya tanpa menafikkan nama dan penyifatan Allah terhadap Dzat-Nya sendiri,s terdapat di dalam Al Quran dan Assunnah.”

Sebagai contoh, Allah memiliki Sifat Maha Lembut (Al Lathif). Kelembutan Allah berbeda dengan kelembutan seorang ayah kepada anaknya yang dicintainya. Kelembutan Allah tidak memiliki padanan dan tidak bisa disamakan dengan seluruh konsep kelembutan di dunia. Sifat Lembut Allah mengikuti kesempurnaan-Nya bukan mengikuti analogi pada makhluk. Karena Allah tidaklah memiliki permisalan dengan sesuatu apapun, maka Sifat-Nya pun tidak memiliki penyerupaan, termasuk analogi kelembutan ayah kepada anak, atau selainnya. Kelembutan telah dipahami maknanya, namun hakikatnya diserahkan kepada Allah sesuai Keagungan dan Kemuliaan Allah.

Tidak seperti dalam pandangan Plato, dalam tauhid, mengimani Nama dan Sifat Allah adalah kemestian dan konsekuensi dari tauhid, namun menyerupakan Nama dan Sifat Allah dengan selain-Nya akan berujung pada penyelisihan tauhid itu sendiri. Menolak Nama dan Sifat Allah – meski sebagai upaya untuk penyucian Allah dari penyerupaan dengan selain Allah – maka sejatinya ia terjatuh pada pengingkaran itu sendiri.

Jika kita mengajukan pertanyaan hipotesis, apakah Plato menemukan konsep tentang tuhan ini melalui seorang Nabi di Yunani? Maka jika hendak jujur, jawaban paling tinggi hanyaa sampai pada tingkat dugaan dan kemungkinan, tidak lebih dari itu, sedangkan asumsi tidak dapat diletakkan sebagai perangkat “ilmiah” dalam perkara pokok akidah Islam.

Pertanyaan lainnya, apakah konsep ketuhanan Plato selaras dengan tauhid?

Pentinhlg untuk kita ingat bersama bahwa bagi Plato, tuhan hanyalah ide. Tuhan hanyalah konsepsi-konsepsi saja sebagaimana konsep keindahan, kebaikan dan semisalnya. Tuhan bagi Plato bukanlah tuhan yang mampu memelihara dan mengasihi. Tuhan bagi Plato satu dan bisa juga plural dan di bawah tuhan yang satu ada pula dewa-dewa lain.  Plato memang memiliki konsep satu tuhan, tapi tidaklah sama dengan Ketuhanan Yang Maha Esa[8] sebagaimana dalam monoteisme. Tuhan bagi Plato bukanlah TUHAN sebagaimana di dalam Taurat, Zabur, Injil, terlebih Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al Quran.

Berhala: Antara Toleransi Dan “Kasih Sayang”

Orang Romawi mengadopsi tuhan-tuhan Yunani dan mengganti nama-nama tuhan itu. Zeus menjadi Jupiter dimana keduanya menurut Herodotus adalah Marduk, tuhan bangsa Babilonia dan Assyria. Yunani dan Romawi memiliki ratusan tuhan dan masing-masing tuhan memiliki spesialisasinya sendiri-sendiri. Manusia datang ke tuhan-tuhan itu sesuai karakteristik, kekuatan, dan otoritas masing-masing dari tuhan itu. Inilah yang juga terjadi pada masyarakat peradaban Mesopotamia Kuno, Mesir Kuno, dan Peradaban Lembah Indus, tidak terkecuali pada masyarakat Makkah pra-Islam.

Bagi sebagian ahli sejarah barat, penyembahan berhala di kuil penyembahan (pantheon) ini memupuk sikap toleransi. Artinya, berhala-berhala itu dibuat-buat untuk memupuk ikatan kasih di antara masyarakat tersebut.

Apa di antara tujuan sebagian masyarakat purba menyembah berhala? Di antaranya telah disebutkan di dalam Al Quran:

فَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلا أَنْ قَالُوا اقْتُلُوهُ أَوْ حَرِّقُوهُ فَأَنْجَاهُ اللَّهُ مِنَ النَّارِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ . وَقَالَ إِنَّمَا اتَّخَذْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْثَانًا مَوَدَّةَ بَيْنِكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ثُمَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُ بَعْضُكُمْ بِبَعْضٍ وَيَلْعَنُ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَمَأْوَاكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ نَاصِرِينَ

Allah berfirman: Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang beriman. Dan berkata Ibrahim, “Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu sembah selain Allah adalah untuk menciptakan perasaan kasih sayang di antara kamu dalam kehidupan dunia ini.” (Al-‘Ankabut: 24-25)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengomentari kedua ayat di atas: “Ibrahim alaihissalam berkata kepada kaumnya dengan nada mengecam dan mencela mereka karena perbuatan mereka yang buruk, yaitu menyembah berhala-berhala. Bahwa sesungguhnya kalian melakukan penyembahan terhadap berhala-berhala itu hanyalah untuk mengikat sebagian dari kalian dengan sebagian yang lain dalam ikatan persahabatan dan kasih sayang di dunia ini. Pengertian ini berdasarkan pendapat ulama yang membaca nasab lafaz mawaddah, bahwa lafaz mawaddatan berkedudukan sebagai maf’ul lah. Sedangkan menurut bacaan rafa’, maka maknanya adalah seperti berikut; Bahwa sesungguhnya kalian melakukan penyembahan terhadap berhala-berhala itu hanyalah untuk memperoleh kasih sayang di antara sesama kalian di dunia ini.”

Misalnya, ketika ada pendatang dari Mesir ke Yunani atau Romawi, maka masyarakat setempat bersedia meyakini tuhan-tuhan dari Mesir itu. Mereka mempersilahkannya membuat pantheon khusus. Masing-masing suku bangsa menyembah berhalanya sendiri-sendiri, terkadang di antara mereka menyembah berhala dari bangsa-bangsa lain. Semua ini ditujukan sebagai perangkat politik bagi kekuasaan agar tidak terjadi pertikaian antar agama di wilayah taklukkannya.

Berhala telah menjadi perekat nasionalisme dan sebagai alat diplomasi. Dalam kata lain, berhala-berhala itu dianggap sebagai media perekat ikatan di antara manusia. Politeisme disebut juga oleh peneliti barat sebagaipendorong perdamaian di antara bangsa-bangsa selama beberapa milennia sebelum datangnya seorang reformer yang menyeru pada penyembahan satu Tuhan, yakni Abraham (Nabi Ibrahim alaihissalam) sebagaimana narasi dalam sebuah tayangan dokumenter berjudul East to West – The Triumph of Monotheismyang disutradaraiJohn Fothergill.

Berhala sebagai pendorong rasa saling mengasihi ini pun disebut di dalam Al Quran yang menggambarkan motivasi kaum Nabi Ibrahim untuk menyembah berhala.

Dalam banyak ayat dalam Al Quran memang disebutkan bahwa seluruh umat diutus pemberi peringatan dan Allah tidak Mengazab suatu kaum melainkan setelah hujjah telah tegak lalu mereka tetap mengingkari dan mendustakan. Akan tetapi, menetapkan secara spesifik mengenai diutusnya Nabi di Yunani, terlebih lagi menganggap di antara pemikir Yunani kuno itu adalah di antara para utusan, membutuhkan dalil untuk menggugurkan asumsi dan dugaan. Meski indikasi-indikasi bisa saja dianggap memperkuat kemungkinan adanya Nabi di Yunani kuno yang mengajarkan tauhid, namun sesuatu yang mungkin belum tentu benar, dan mengangkat dugaan dan keraguan hingga ke tingkatan metodologi ilmiah, menurut Dr Hamid Fahmy Zarkasy (dalam kata pengantar buku Framework Studi Islam – Kajian Multidisplin Wacana Keislaman Kontemporer), adalah karakteristik cara pandang barat. Epistemologi waswas ini jelas tertolak dalam Islam.

Wallahu A’lam

[Abu Nahla]


[1]Belief of Monotheism in Ancient and Medieval Religions of the Nations – (An Analytical Study of Abu Al Kalam Azad’s Writings). Prof Dr. Salahudin Mohd. Shamsuddin et.al. IOSR Journal of Humanities and Social Science. Volume 19, Issue 10, Oct, 2014, hal, 100.

[2] Diels, fr. 15 via Prof. Dr. K. Bertens. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta, 199. Penerbit Kanisius, hal, 50.

[3] Ibid, hal, 51.

[4] Ibid.

[5] Ibi, hal, 52.

[6] Ibid.

[7] Ivan Th. J. Weismann. Filsafat Ketuhanan Menurut Plato.  Hal, 11-12.

[8] Ibid, hal, 14.

Leave a comment