Al Bahr al Ahmar
Demikianlah sebutan bagi Laut Merah dalam bahasa Arab (البحر الأحمر). Konon, di zaman kuno, orang-orang menyebut arah mata angin dengan warna; hitam mewakili utara, putih mewakili barat, hijau mewakili timur, dan merah untuk arah selatan. Berangkat dari persepsi warna dalam orientasi arah inilah mereka datang dengan sebutan Laut Hitam – karena letaknya di sebelah utara yang dilambangkan dengan warna hitam. Sama halnya dengan Laut Merah, ia dinamakan demikian karena terletak di selatan.[1]
Tentu orientasi arah relatif dari posisi seseorang dan suatu bangsa. Bangsa Mesir Kuno dahulu, misalnya, meletakkan selatan sebagai utara, dan sebaliknya, utara sebagai selatan. Bagi bangsa Slavia, di satu waktu mereka mempersepsikan utara dengan warna putih. Lain lagi di Tibet, arah utara dilambangkan dengan biru. Terlepas dari perbedaan-perbedaan itu, sejarawan Herodotus dari Yunani terkadang menyebut perairan ini dengan “Laut Merah”. Di lain tempat dia menyebutnya dengan “Laut Selatan”.
Jika sebuah kapal berlayar di Laut Merah ke arah utara dari Yaman, maka awak kapal memiliki keawasan orientasi bahwa ia sedang diapit oleh dua daratan; di sebelah kanan (timur) adalah pesisir Afrika, dan kiri-nya (barat) yakni Jazirah Arab. Ketika telah sampai di ujung utara Laut Merah, maka nahkoda kapal harus memilih ke arah mana ia akan berlabuh, ke arah kiri menuju Teluk Suez atau ke arah kanan ke Teluk Aqaba. Teluk Suez merupakan gerbang masuk ke negeri Mesir dan Teluk Aqaba merupakan akses masuk ke Syam. Dua teluk ini merupakan “pintu” jalur laut menuju pusat peradaban manusia di zaman kuno; Mesir, Syam, Mesopotamia, dan negeri-negeri di pinggiran Mediterania seperti Yunani dan menuju jantung Romawi. Oleh karenanya, Laut Merah begitu ramai oleh lalu-lintas dagang yang menghubungkan antara barat dan timur. Ia dilalui oleh para pelayar dari nusantara, India, Persia, Tiongkok, Yaman, Hizaj, dan para pelayar dari Afrika, Yunani, Romawi, dan Syam. Laut Merah, Selat Gibraltar, Selat Bosporus, dan Selat Malaka merupakan perairan sibuk di zaman kuno bahkan hingga hari ini.
Laut Merah merupakan perairan yang umumnya dangkal; 40% di antara wilayahnya memiliki kedalaman kurang dari 100 meter, dan 25% di antaranya memiliki kedalaman kurang dari 50 meter. Maka, hanya 35% area Laut Merah yang tergolong sebagai perairan dalam. Ia termasuk perairan dengan kadar garam tertinggi di dunia sehingga lebih mudah seseorang untuk terapung di permukaan laut sebagaimana karakter Laut Mati di Syam. Laut Merah merupakan perairan dengan suhu paling hangat di dunia.

Hari ini, perjalanan memasuki Laut Merah dimulai dari Tanduk Afrika. Kapal akan masuk melalui Teluk Aden yang diapit oleh negara Yaman dan Somalia. Kapal akan terus masuk hingga melintasi pesisir Djibouti, Sudan, Eritrea, Arab Saudi, Mesir, dan Yordania.
Laut Merah mungkin perairan yang paling banyak mengandung nilai sejarah bagi Yahudi, Nasrani, dan Islam. Di Laut Merah itulah dahulu, menurut banyak sejarawan ahli kitab dan kaum muslimin, Nabi Musa alaihissalam membelah laut dengan daya dan kekuatan dari Rabb-nya. Dalam tradisi Judaisme peristiwa pembelahan laut ini disebut keriat yam suf. Kala itu, pasukan raja Ramesses II, yang oleh sebagian sejarawan sebut sebagai Fir’aun era Nabi Musa, mengejar rombongan anak cucu Nabi Ya’qub alaihissalam yang hendak keluar dari negeri Mesir. Peristiwa yang diduga terjadi di sekitar abad 13 SM ini juga dikenal dengan Eksodus. Dalam satu pendapat dari kalangan ahli tafsir kontemporer, di perairan ini pula dikatakan bahwa Nabi Musa dan Nabi Khidir alaihimassalam bertemu di suatu lokasi dimana “dua lautan bertemu”, yakni antara Teluk Suez dan Teluk Aqabah.[2] Laut Merah merupakan laut yang paling “religius”.

Konon, agama Nasrani datang ke negeri Habasyah (Aksum) melalui Laut Merah. Menurut sejarawan dari abad 4 M bernama Rufinus, suatu ketika terdapat kakak adik bernama Frumentius (m. 383 M) dan Edesius yang menemani paman mereka dalam melakukan perjalanan dari kota Tirus menuju Etiopia. Ketika kapal mereka berlabuh di salah satu pelabuhan di pesisir Laut Merah, penduduk lokal membantai seluruh penumpang dan awak kapal kecuali Frumentius dan saudara kandungnya, Edesius. Keduanya kemudian menjadi budak seorang raja Aksum. Seiring berjalannya waktu, kedua kakak beradik itu semakin mendapat tempat di hati raja. Sebelum raja tersebut meninggal, kedua kakak beradik itu diberikan kebebasan sehingga status keduanya tidak lagi sebagai budak. Ketika keduanya memutuskan untuk meninggalkan Aksum, sang ratu meminta mereka untuk tetap tinggal di kerajaan dan menjadi pengurus administrasi kerajaan sekaligus pendidik bagi pangeran Erazanes. Dari keduanya itulah kemudian Nasrani tersebar di Aksum dan membuat Erazanes memeluk agama Nasrani.[3]
Lebih jauh lagi, perairan ini menjadi saksi bisu dua peristiwa migrasi kaum muslimin dari Makkah menuju Aksum di era Kenabian Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Aksum adalah nama kerajaan yang juga dikenal dengan Abyssinia, Ethiopia, dan juga Habasyah. Adapun Najasyi atau Negus sejatinya adalah gelar. Sementara . Untuk menuju Aksum, kapal-kapal berlabuh di pelabuhan Adulis. Selepas itu, perjalanan menuju ibukota Aksum ditempuh melalui jalur darat. Rute inilah yang dilalui oleh dua gelombang hijrah sahabat Nabi dari Makkah ke kerajaan Habasyah. Dalam Tabaqat al Kubra, sebanyak 11 muslimin dan 4 muslimah bertolak dari Makkah ke pelabuhan Shu’aybah, sebagian dari mereka mengendarai hewan tunggangan dan sebagian lainnya berjalan kaki. Tatkala sampai di tepian laut [dipastikan pesisir Laut Merah, pen], terdapat dua kapal dagang. Kemudian mereka menaikinya untuk menyebarang ke negeri Habasyah dengan membayat setengah dinar untuk setiap penumpang.[4]
Raja yang memerintah Aksum saat itu bergelar Negus atau An Najasyi. Nama raja tersebut adalah Ashama bin Ajrar, atau dalam bahasa Ge’ez adalah Armah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda mengenainya: Sesungguhnya di negeri Habasyah ada seorang raja yang tak seorangpun dizhalimi di sisinya, pergilah ke negerinya, hingga Allah membukakan jalan keluar bagi kalian dan penyelesaian atas peristiwa yang menimpa kalian.”[5] Raja ini penganut doktrin Miafisit. HERE
Di tepian Laut Merah ini pula 300 pasukan Abu Ubaidah bin al Jarrah radhiyallahu ‘anhu menemukan seekor ikan yang dinamai Al Anbar di pesisir pantai. Kemudian seluruh dari rombongan Abu Ubaidah tersebut memakan daging dan minyak ikan besar ini hingga membugarkan tubuh dan mengembalikan tenaga mereka. Al Anbar merupakan seekor ikan yang besar (kemungkinan seekor mamalia), begitu besarnya hingga seorang sahabat Nabi dikatakan dapat memasuki rongga matanya.[6] Jika pendapat sebagian ulama yang mengatakan di Laut Merah inilah Nabi Musa dan Nabi Khidir bertemu, maka ikan yang disebut dalam surat Al Kahfi juga berhabitat di perairan ini.
Laut Merah merupakan salah satu perairan paling awal yang tercatat oleh dokumentasi manusia. Sejak masa sebelum era dinasti Mesir Kuno, yakni masa dimana rentetan fir’aun berkuasa di Mesir di milenia ke-4 SM, telah ada aktivitas niaga yang menghubungkan Sungai Nil dengan Laut Merah melalui Wadi Hammamat. Wadi Hammamat memudahkan aktivitas niaga masyarakat Mesir di kota Thebes. Ia seperti arteri yang menghubungkan daratan Mesir dengan Laut Merah. Melalui Wadi Hammarat itu pula beragam jenis produk perdagangan ditransportasikan melalui Sungai Nil menuju utara Mesir hingga ke pelabuhan di Aleksandria. Singkatnya, sejak 2000 SM, Laut Merah telah menjadi bagian dari jalur aktivitas niaga bangsa Mesir, dan sejak 1000 SM, perairan ini merupakan jalur laut menuju India.
India merupakan negeri yang kaya rempah yang hanya bisa ditandingi dengan nusantara. India merupakan destinasi dagang Romawi di timur. Di zaman kuno, Romawi memiliki dua jalur dagang menuju India, yakni melalui Teluk Persia dan Laut Merah. Namun untuk menuju Teluk Persia, konvoi dagang Romawi harus melalui jalan darat menuju Teluk Persia. Meski lebih cepat dari sisi jarak tempuh, perjalanan darat ini memiliki resiko yang besar karena faktor keamanan yang tidak menentu akibat situasi politik dan peperangan yang relatif marak di wilayah itu. Oleh karenanya berlayar ke India melalui Laut Merah tidak saja efektif dan efisien namun juga menawarkan keamanan yang lebih baik ketimbang jalur darat.
Gaya hidup mewah kaum hawa di imperium Romawi merupakan salah satu faktor maraknya hubungan dagang Romawi dengan India. Bahkan, kegemaran wanita Romawi terhadap produk dari timur sampai pada taraf menggerus kas negara. Pliny the Elder, filosof dan penulis Romawi yang hidup antara 1 SM – 1M, menulis:
Melalui hitung-hitungan terendah, India, Serica [wilayah Tiongkok utara], dan Semenanjung Arab mengambil 100 juta sesterces [satu sesterces setara dengan 7 ribu rupiah] per tahunnya – begitu banyak harga kemewahan hidup wanita kita.[7] Uang sebanyak itu dihabiskan utamanya untuk sutera. Menurut Strabo, sejarawan Yunani yang meninggal di tahun 21 M, setiap tahun Imperium Romawi mengirim 120 kapal ke India. Setiap kapal membawa sekitar 300 ton kargo. Maka, setiap tahunnya sekitar 36000 ton kargo dari wilayah timur tiba di Aleksandria. Gaya hidup hedon ini juga merebak di Pompeii, kota tempat para pria hidung belang melampiaskan syahwat baik kepada wanita maupun kepada sesama jenis. Bahkan sebelum Pompeii luluh-lantah oleh erupsi gunung berapi, di sana sudah terdapat rempah-rempah asal nusantara yang dikonsumsi oleh kalangan elit.

Namun pelayar dari Aleksandria awalnya tidak serta-merta langsung menjalin kontak secara langsung dengan India. Keterbatasan pengetahuan dan navigasi mencegah pelayar dari Aleksandria melangsungkan ekpsedisi dagang jarak jauh. Maka, para pelayar menjadikan kota Aden sebagai titik temu antara pedagang dari timur dengan pedagang dari Mesir. Kota Aden yang kini berada di Yaman juga menjadi patokan bagi para pelaut di zaman kuno sebagai batas pelayaran. Dalam ‘The Periplus of the Erythraean Sea’ yang ditulis oleh seseorang yang tidak diketahui identitasnya, tertulis bahwa, “Eudaemon Arabia (Aden) merupakan kota yang mapan, ketika kapal-kapal dari India tidak melanjutkan pelayaran menuju Mesir, dan kapal-kapal dari Mesir tidak berani berlayar ke destinasi yang melampauinya, melainkan hanya sejauh itu (sampai kota Aden).”[8]

Jika memang kapal-kapal Mesir itu harus berlayar melampaui Aden maka mereka berlayar dengan tidak terlalu jauh dari garis pantai. Salah satu navigasi pelayaran di zaman kuno adalah berlayar dengan menjadikan daratan sebagai patokan, yakni dengan menjaga garis pantai tetap dalam jangkauan pengelihatan. Namun demikian, dorongan untuk berlayar langsung ke India semakin kuat. Hal ini disebabkan keuntungan dari ekspedisi langsung ke India lebih menawarkan keuntungan besar ketimbang dari pedagang “tangan kedua” di Aden. Oleh sebab itu di abad ke-1 SM, kapal-kapal dari Aleksandria mulai berlayar melampaui Pelabuhan Aden di era Ptolemy XII (80-51 SM).
Selain Mesir Kuno dan Romawi Kuno, kapal-kapal dari wilayah Jazirah Arab bagian selatan (Yaman dan sekitarnya) dan juga dari Persia meramaikan lalu-lintas di perairan ini. Setelah munculnya Islam lalu diikuti berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Samudera Hindia, rute Laut Merah menjadi bagian dari jalur dagang kaum muslimin yang mengubungkan India, Tiongkok, pesisir perairan Selat Malaka, nusantara, Madagaskar, dan pantai timur Afrika.[9] Laut Merah itu sendiri juga bagian dari Jalur Dupa Kuno (Incense Route). Hanya Jalur Dupa Kuno ini berada di darat. Melalui Laut Merah, hasil bumi wilayah Jazirah Arab bagian selatan berupa tanaman aromatik seperti kemenyan dan mur (resin aromatik) ditransportasikan ke negeri-negeri lain, termasuk ke Mesir, Syam, dan sekitara Mediterania. Yaman dan sekitarnya merupakan penghasil produk aromatik terbaik di dunia saat itu, bahkan sejumlah tanaman aromatik di wilayah tersebut nyaris tidak ditemukan di negeri lainnya.

Tanaman aromatik utamanya digunakan untuk ritual keagamaan. Kebutuhan untuk ritual keagamaan itulah yang menjadikan kemenyan dan mur sebagai komoditi favorit. Kemenyan dan mur diangkut dari selatan Arabia untuk diperdagankan ke Mesir, Syam, dan negeri-negeri di sekitaran Mediterania. Seorang pedagang dari Yaman bernama Zaidil ibn Zayd di abad 3 SM tercatat pernah menjadi semacam pendeta di kuil penyembahan Mesir kuno di kota Memphis. Saat dirinya meninggal di sekitar tahun 263 SM, yakni di era raja Ptolemy II yang memguasai Mesir saat itu, ditemukan sebuah prasasti berbahasa Arab di peti mati kayu ibn Ziyad. Dalam prasati tersebut tertulis bahwa ibn Ziyad mengimpor sejumlah komoditi (wewangian) untuk digunakan dalam ritual di kuil Mesir.[10] Jauh sebelum era Ibn Ziyad, Mesir Kuno telah mengimpor produk aromatik dari Arab selatan yang juga digunakan di altar pemujaan tuhan-tuhan mereka dan untuk prosesi pemakaman, serta mumifikasi.
Bukan saja Mesir Kuno, kemenyan dan mur begitu masyhur di Syam dan wilayah sekitaran Mesopotamia. Dalam Perjanjian Baru, Matius 2:11, dikatakan: Maka masuklah mereka ke dalam rumah itu dan melihat Anak itu bersama Maria, ibu-Nya, lalu sujud menyembah Dia. Merekapun membuka tempat harta bendanya dan mempersembahkan persembahan kepada-Nya, yaitu emas, kemenyan dan mur. Tiga orang yang mempersembahkan hadiah kepada biblikal Mariam itu disebut sebagai magi, yaknisebutan bagi pendeta Zoroastrianisme (Majusi). Zoroastrianisme merupakan agama yang muncul di negeri yang kini dikenal dengan Iran.
Namun tidak hanya untuk upacara keagamaan saja, dua tanaman aromatik itu juga digunakan sebagai parfum dan obat-obatan.[11] Berdasarkan penuturan Herodotus, terkadang orang-orang Yunani mengganti ritual pengorbanan hewan untuk dewa-dewi mereka dengan kemenyan dan mur. Orang-orang kaya di Babilonia juga melumuri tubuh mereka dengan kemenyan sebelum melakukan hubungan suami istri. Wanita Scythia membalur kemenyan ke tubuh mereka untuk merawat kulit. Tidak ketinggalan, masyarakat Arab kuno di Gaza mempersembahkan sekitar 1000 talent kemenyan setiap tahunnya sebagai upeti kepada Darius, raja Achaemenid kala itu (1 talent setara dengan 33 kg: maka 33 ton produk aromatik!).[12]

Selain tanaman aromatik, Laut Merah memungkinkan komoditi rempah-rempah dari India dan nusantara untuk masuk ke Aleksandria lalu diteruskan ke wilayah Mediterania. Kayu manis, lada, pala, dan jahe adalah produk yang seringkali lebih mahal ketimbang emas. Di antara negeri penghasil rempah-rempah adalah India dan tentu saja nusantara. Rempah-rempah dari nusantara ditransportasikan dari nusantara ke Roma melalui Madagaskar dan Afrika Timur, lalu melalui Laut Merah komoditi tersebut masuk ke utara menuju pelabuhan Aleksandria. Dari pelabuhan Aleksandria itulah rempah-rempah nusantara menyebar ke berbagai wilayah Romawi di Mediterania.
Nusantara sejak sekitar tahun 400 SM telah menjadi produsen rempah-rempah dunia, sekitar empat abad sebelum kelahiran Nabi Isa alaihissalam. Nusantara menjadi bagian integral dari Jalur Rempah Maritim, jalur yang membentang dari pantai barat Jepang, kepulauan nusantara, wilayah India, hingga apa yang kini disebut dengan Timur Tengah. Dari Timur Tengah itu kemudian kapal-kapal dagang berlayar menuju Eropa melalui Laut Merah. Total jarak jalur ini sekitar 15000 km.[13] Aktivitas jual beli antar pedagang dari berbagai negeri umumnya terjadi di pelabuhan, dan salah satu komoditi yang dapat memberikan banyak keuntungan adalah perdagangan rempah. Namun tidak hanya rempah, komoditi lain yang diperdagangkan adalah keramik, gading gajah, tempurung kura-kura, batu mulia, dan tentu saja sutera.
Di antara bukti bahwa rempah-rempah nusantara telah dikonsumsi oleh warga Romawi, khususnya Pompeii, muncul dari penggalian kepurbakalaan di Napoli yang mengindikasikan di sana telah ada rempah-rempah khas Indonesia.[14] Di antara kesimpulan dari penelitian di Napoli oleh peneliti dari University of Cincinnati itu adalah gaya hidup masyarakat Pompeii yang tinggi. Romawi telah menjadi konsumen rempah-rempah nusantara sejak 400 SM, empat abad sebelum Gunung Vesuvius meletus.
Transportasi melalui Laut Merah tigapuluh kali lebih murah ketimbang jalur darat. Jalur darat yang dimaksud adalah jalur yang membentang dari Damaskus hingga Hadramaut. Akibat harga yang terpaut jauh inilah jalur darat di sepanjang Jazirah Arab sempat meredup. Suku-suku Kahlan di Yaman, misalnya, berpencar ke sejumlah wilayah di Jazirah Arab setelah Bendungan Ma’rib jebol dan juga disebabkan oleh tekanan monopoli dagang Romawi di rute Laut Merah dan juga rute darat selepas Romawi menaklukan Mesir dan Suriah.[15] Jalur darat ini merupakan cabang dari jalur sutera yang membentang dari Tiongkok hingga wilayah Mediterania.
Jalur darat ini melintasi kota-kota penting di pesisir timur Jazirah Arab seperti Thaif, Najran, Makkah, Madinah, Khaybar, Al Ula, Tabuk, hingga Petra. Jalur yang menghubungkan Hadramaut dengan Damaskus ini merupakan sebuah rute yang telah ada setidaknya sejak era Nabi Sulaiman Alaihissalam tatkala kerajaan beliau menjalin hubungan dengan Kerajaan Saba di wilayah Arab Selatan. Iring-iringan dagang Quraisy dipastikan menggunakan rute ini saat menuju Syam di musim panas dan menuju Yaman di musim dingin.
Para raja Mesir di milenia ke-2 masehi membangun pelabuhan-pelabuhan di pesisir Laut Merah. Salah satu destinasi dagang adalah negeri “Punt”, atau yang pada hari ini dikenal dengan negara Somalia.[16] Di wilayah Somalia dan pesisir pantai timur Ethiopia banyak terdapat kawanan gajah. Gajah utamanya berguna dalam medan perang. Dengan suaranya yang seperti terompet, aromanya yang khas, serta ukurannya yang besar dapat memberi efek psikologis terhadap pasukan musuh selain menjadi unit kavaleri yang efektif. Pasukan pimpinan Abrahah memiliki unit gajah dalam ekspedisinya menghancurkan Makkah. Namun demikian, ketika gajah terusik oleh sesuatu hal, misalnya suara menggelegar seperti dentuman meriam seperti di Pertempuran Panitpat 1526 M di India, atau ketika salah satu pemimpin kawanannya mati sebagaimana dalam ekspedisi militer Sa’ad bin Abi Waqqash ke Ctesiphon, maka seketika itu gajah dapat menjadi boomerang. Sebab, ketika mereka panik dan lari ke belakang maka akan terjadi kekacauan di barisan pasukan.
Untuk kebutuhan militer ini, dinasti Ptolemy Mesir di abad 3 SM mengirim ekspedisi untuk menangkap gajah di pesisir pantai Afrika Timur. Sejumlah pelabuhan di pesisir Laut Merah kemudian dibangun atau direstorasi. Kapal-kapal pun dibuat untuk ekspedisi ini.
Sebagaimana Laut Merah, jalur dagang darat ini menjadi saksi bisu peristiwa-peristiwa besar. Ia adalah rute iring-iringan kafilah dagang Quraisy saat musim panas menuju Syam di utara dan saat musim dingin menuju Yaman di selatan. Ia termasuk jalur dagang yang dilalui oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saat beliau masih kecil ketika bepergian menuju Syam bersama pamannya Abu Thalib. Biara pendeta Nasrani madzhab Nestorian bernama Buhaira yang menemui Nabi juga berada di lintasan Jalur Dupa Kuno ini. Begitu pula ketika beliau bepergian ke Syam untuk kedua kalinya sebagai duta Khadijah Radhiallahu Anha.
Jalur ini menghubungkan Arab Selatan dengan Makkah dalam kaitannya dengan ekspedisi “Perang Salib” yang dilangsungkan pasukan gajah Abrahah. Ekspedisi pembukaan negeri-negeri sejak masa pemerintahan sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu Anhu juga rute pertama yang dilalui pasukan muslimin. Selepas menyeberangi Laut Merah sebagaimana yang telah disinggung, kemungkinan rombongan Bani Israil melintasi jalur ini dalam perjalanan menuju Al-Quds. Saat Nabi Daud memerangi orang-orang Musyrik di Yatsrib[17] dan juga saat berziarah ke Makkah[18], beliau kemungkinan besar melintasi jalur ini.

Makkah salah satu kota lintasan jalur dagang melalui darat yang menghubungkan kota dan pelabuhan di Yaman dengan Syam. Dari Syam komoditi dagang di bawa ke barat dan timur melalui apa yang disebut sebagai Jalur Sutera. Suku Quraisy tidak pernah lepas dari aktivitas dagang. Bukan hanya melalui jalur darat, sebuah pelabuhan di Jeddah telah menjadi akses sejak masa pra-Islam. Pelabuhan itu disinggahi juga oleh pelayar Mesir. Ibnu Ishaq menulis:
Ketika itu, laut melemparkan perahu milik salah seorang pedagang Romawi ke Jeddah. Perahu tersebut pecah berkeping. Orang-orang Quraisy mengambil kayu-kayunya dan menyiapkannya sebagai atap. Di kota Mekkah saat itu ada seorang tukang kayu yang berasal dari Mesir Qibthy. Orang inilah yang menyiapkan sebagian bahan untuk pembangunan Ka’bah.
Rasulullah terlibat dalam aktivitas dagang sebanyak dua kali. Ibunda kaum beriman, yakni Khadijah Radhiyallahu ‘anha, merupakan seorang pedagang. Abu Thalib, paman Rasulullah, juga seorang pedagang. Bahkan, menurut Ibnu Ishaq, pionir perjalanan dagang suku Quraisy di musim dingin (ke Syam di utara) dan di musim panas (ke Yaman di selatan) adalah Hasyim bin Abdu Manaf yang tidak lain adalah ayah dari kakek Rasulullah (Abdul Mutalib). Selain pedagang, masih menurut Ibnu Ishaq, Hasyim adalah orang yang pertama kali memberi makan kepada para jamaah haji di Makkah berupa makanan sejenis bubur. Melalui Hasyim ini tampak bahwa kepiawaian berdagang dan kedermawanan merupakan di antara karakter banyak dari pemuka Quraisy.
Dagang dan kualitas moral tidak dapat dipisahkan bagi kalangan elit Quraisy. Hal ini juga tampak saat Khadijah Radhiyallahu ‘Anha, seorang pedagang yang memiliki banyak karyawan dan menerapkan sistem bagi hasil, berkeinginan untuk menjadikan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai pendamping hidupnya dikarenakan kejujuran, keamanahan, dan keindahan akhlak Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Saat Islam datang, karakter mulia yang sudah lebih dahulu ada lebih diperindah lagi, termasuk menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dalam aktivitas dagang.
Shafiyyurrahman al Mubarakfuri mengatakan bahwa perdagangan adalah aktivitas umum bangsa Quraisy dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. Aktivitas dagang masyarakat Makkah melibatkan perjalanan jarak jauh. Perjalanan jarak jauh dengan membawa uang dan komoditi dagang tidak mungkin terjadi tanpa adanya keamanan dari ancaman perampok di sepanjang jalan. Oleh karenanya perjanjian antar kabilah, khususnya dengan kabilah-kabilah yang terdapat di lintasan rute dagang, merupakan faktor mendesak. Namun perjanjian tidak menjamin keamanan secara mutlak kecuali dalam bulan-bulan haram yang dimaklumi sebagai bulan-bulan yang terlarang untuk berperang. Sepanjang empat bulan itu keamanan para iring-iringan dagang jauh lebih baik. Selain empat bulan haram, momen-momen besar seperti festival di pasar Ukadz, Dzul Majaz, dan Majinnah juga menekan angka kriminalitas di sepanjang lintasan dagang darat.
Ramainya jalur dagang ini merupakan salah satu faktor penarik minat kaum Yahudi untuk berimigrasi ke Arab Utara, di antaranya ke Taima, Khaibar, dan Yatsrib (Madinah) di abad 6 SM. Selain sebuah kota yang berada di lintasan jalur dagang kuno, Yatsrib memiliki tanah yang subur dengan pasokan air dari lembah, serta memiliki akses strategis ke Laut Merah.[19] Faktor terbesar penyebab pasang surutnya jalur darat ini adalah jalur laut, yakni Laut Merah itu sendiri. Biaya transportasi laut relatif lebih murah dan kompetitif dibanding biaya kafilah darat.[20]
Namun tidak pernah sekalipun jalur darat ini sepenuhnya ditinggalkan. Pasar Qainuqa di Madinah adalah salah satu pusat komersial yang muncul akibat ramainya lalu-lintas dagang Jalur Dupa Kuno lewat darat. Pasar Ukadz bahkan iring-iringan jamaah haji sejak zaman Nabi Ibrahim dan Nabi Isma’il alaihimassalam hingga masa kenabian Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melintasi jalur ini. Bahkan ketika Islam muncul hingga beberapa abad setelahnya, jalur dagang darat kembali ramai dan semarak melebihi masa-masa sebelum Islam.
Lumrah adanya bahwasanya di sepanjang jalur dagang dari Damaskus hingga Hadramaut ini berdiri kota dan pemukiman Yahudi. Potensi perniagaan yang membentang dari Syam hingga Yaman melalui jalur dagang antara Damaskus hingga Hadramaut ini tampaknya menjadi salah satu faktor diaspora kaum Yahudi ke Hijaz dan juga Yaman meski ia bukanlah faktor dominan. Kesuksesan mereka dalam menjadikan perdagangan sebagai cara bertahan hidup di negeri diaspora menjadi karakter khas bangsa Yahudi hingga hari ini di berbagai belahan dunia. Drama berjudul Merchant of Venice yang ditulis William Shakespeare di abad 16 dan diangkat ke layar lebar di tahun 2004 tersebut “menegaskan” stereotip ini.
Wisnu Tanggap Prabowo
[1] Smithsonian Journey. How The Red Sea Got Its Name. 17 Mei 2010. Washington DC. https://www.smithsonianjourneys.org/blog/how-the-red-sea-got-its-name-180950850/. Akses 11 September 2021.
[2] Syaikh Dr. Muhammad Sulayman al Asyqar saat menafsirkan Surah Al Kahfi ayat 60: “لَآ أَبْرَحُ حَتَّىٰٓ أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ”Dalam Zubdatut Tafsir min Fathil Qadir.
[3] Saheed A. Adejumobi. The History of Ethiopia. Greenwood Press, Westport, 2007. Hal, 171.
[4] Ibn Sa’ad. Tabaqat al Kubra. Vol. 1 Part 50. Hal, 136.
[5] Dr Akram Dhiya’ Al-Umuri. Shahih Sirah Nabawiyah. Pustaka Assunnah, Jakarta, 2010. Hal, 173. Beliau mengatakan ia terdapat dalam Fathul Bari 7:189, Sirah Ibnu Ishaq hal, 194, Sirah Ibnu Hisyam 1;334, dengan sanad hasan.
[6] Dalam Shahih Muslim, hadis no. 3557, dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu.
[7] Raoul McLaughlin. Rome and the Distant East: Trade Routes to the Ancient Lands of Arabia, India and China. Continuum, London – NY, 2010. Hal, 4
[8] Alexandrea ad Aegyptvm the Legacy of Multiculturalism in Antiquity. Ed. Rogerio Sousa et.al. CITCEM – Centro de Investigação Transdisciplinar «Cultura, Espaço e Memória. Porto, 2011. Hal, 80.
[9] General History of Africa III – Africa from the Seventh to the Eleventh Century. United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (Editor M. Elfasi). Paris, 1988. Hal, 8.
[10] Okasha El Daly. Egyptology: Missing Millenium – Ancient Egypt in Medieval Arabic Writings. UCL Press, London, 2005. Hal, 13-14.
[11] Ibid. Raoul McLaughlin.Hal, 61.
[12] Raoul McLaughlin. Rome and the Distant East: Trade Routes to the Ancient Lands of Arabia, India and China. Continuum, London – NY, 2010.Hal, 62.
[13] UNESCO. What Are The Spices Route. Silk Roads Program. Paris. https://en.unesco.org/silkroad/content/what-are-spice-routes. Akses 12 September 2021.
[14] Palupi Annisa Aulani. Rempah Indonesia Digunakan Masyarakat Romawi Kuno. National Geographic Indonesia. 10 Januari 2014. https://nationalgeographic.grid.id/read/13287318/rempah-indonesia-digunakan-masyarakat-romawi-kuno. Akses 12 September 2021.
[15] Syaikh Shafiyyurrahman al Mubarakfuri. Perjalanan Hidup Rasul yang Agung – Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam – Dari Kelahiran Hingga Detik-Detik Akhir. Darussalam, Riyadh, 2008. Hal, 3.
[16] Op. Cit. Raoul McLaughlin. Hal, 23.
[17] Jewish Virtual Library. Arabia. Encyclopaedia Judaica via Jewish Virtual Library. https://www.jewishvirtuallibrary.org/arabia. Akses 12 September 2021.
[18] QS. Ali Imram: 93 melalui penyebutan Bakka. Bandingkan dengan Mazmur Pasal 84:7.
[19] Charles Cutler Torrey, Jewish Foundation of Islam, The Hilda Stich Stroock Lectures, New York: Jewish Institute of Religion Press, 1933, hlm. 13.
[20] Ibid. Charles Cutler Torrey, hlm. 10.