Alhamdulillah. Washolatu wassalamu ‘ala Rosulillah
Kita sedikit berandai sejenak. Katakanlah seseorang bernama A lahir dan menetap di pedalaman Amazon. Sementara B berada di Kilimanjaro Afrika. Si C berada di pulau di tengah samudera Pasifik, dan D di berada di padang rumput Australia. Mereka hidup di sebuah zaman tanpa adanya alat komunikasi atau transportasi. Sebut saja mereka ini berada di suku-suku “primitif”.
Keempat orang tersebut hidup di wilayah yang terpencil, di zaman yang berbeda, dengan bahasa yang juga berbeda, di belahan benua yang berbeda – terpisah samudera dengan jarak puluhan ribu kilometer. Jangankan untuk saling berkomunikasi, bahkan banyak di antara suku-suku aborigin di Australia sendiri tidak menyadari eksistensi suku-suku tetangga mereka lainnya.

Adanya kemiripan antara suku-suku itu mengenai sebuah kisah tentu menarik. Bukan saja di antara suku-suku “primitif” namun juga peradaban-peradaban besar.
Di Yunani kuno terdapat sebuah kisah tentang Prometheus yang dibentuk dari tanah liat sebagai manusia pertama dan hidup melalui api yang ia curi dari langit. Di Peru dikenal manusia pertama bernama Alpa Camasca.
Di suku Mandan di Amerika Utara, mereka meyakini bahwa “the Great Spirit” membentuk dua sosok dari tanah liat yang kemudian dikeringkan lalu “dibentuk dengan nafasnya”. Bentuk pertama disebut “manusia pertama” dan yang kedua disebut “pendamping”.
Di masyarakat Tahiti ada kisah bahwa tuhan menciptakan manusia dari tanah merah. Di Sudan selatan, di suku Dinka, salah satu kisah mereka menceritakan tentang pemisahan langit dan bumi serta penciptaan pasangan manusia bernama Garang dan Abuk, dan dari keduanya, bagi mereka, manusia itu berkembang biak. Lalu si perempuan memutuskan menanam tumbuhan lebih dari yang diizinkan. Hal itu membuat marah sang penicpta keduanya sehingga menjadikan keturunannya harus bekerja untuk memperoleh makanan yang mereka butuhkan, juga mengalami rasa sakit dan kematian.

Suku Khoekhoe di wilayah selatan Afrika memiliki keyakinan bahwa “orangtua” mereka melakukan kesalahan besar, dan membuat marah pencipta, kemudian sang pencipta mengutuk keduanya dan juga keturunan mereka.
“Legenda” tentang sepasang manusia pertama yang dibuat dari tanah, pasir, atau debu (banyak ragam versinya), lalu kisah tentang dunia yang tersapu air dan sekelompok manusia dalam bahtera yang selamat (ragamnya juga banyak), lalu kisah tentang adanya 10 raja atau generasi (ragamnya banyak, tapi keyword-nya “10”), banyak ditemukan juga di suku-suku primitif terpencil di lokasi lain.
Terkhusus mengenai kisah banjir besar, ia terdapat di nyaris seluruh peradaban kuno dan suku-suku “primitif” juga. Di Tiongkok sendiri kisah banjir melanda bumi ada banyak versi di suku-suku berbeda. Mengapa kisah banjir ini memiliki ide pokok serupa namun dengan detail yang berbeda-beda?
Frank S. Dobbins dalam karyanya: False Gods – Idol Worship of the World (1870), mengatakan di halaman 66, maknanya: “Mustahil mereka bersekongkol mengarang cerita, mustahil ada saling jiplak, mengingat hambatan bahasa, ruang dan waktu…”
Kita bisa ambil beberapa kesimpulan:
1. Dahulu manusia satu umat, dari satu ayah.
2. Maka dahulu berbicara satu bahasa.
3. Maka dahulu berada pada satu agama.
4. Kisah-kisah itu dahulu satu versi tetapi terdistorsi.
5. Terjadi migrasi massal selepas bencana dahsyat berupa air yang meninggi.
6. Ada utusan umat-umat yang terpencar itu.
7. Manusia tidak berevolusi agamanya, justru berdevolusi.
Kajian dalam ranah ini banyak diteliti oleh etnolog dan antropolog abad 19 seperti Wilhelm Schmidt, Andrew Lang, dan Stephen Langdon. Di zaman ini kajian mereka dikembangkan lebih jauh lagi dalam sejumlah karya baik dari kalangan ahli kitab dan cendekiawan muslim dalam konteks menyodorkan argumentasi bahwa agama manusia tidaklah berevolusi; dari penyembahan benda-benda alam, langit (astrolatry), roh-roh, baru kemudian mereka “menemukan” konsep monoteisme.
Bukan hanya mengenai penciptaan manusia dan banjir besar saja, konsep pencipta tunggal juga ditemui di banyak suku-suku terpencil. Tetapi, bukankah banyak juga kesyirikan di suku-suku primitif?
Jawabannya, jelas ada, bahkan banyak, begitu juga di peradaban yang “tidak primitif”, bahkan di era modern hari ini.
Namun jejak-jejak bahwa dahulu mereka menyembah satu sesembahan itu begitu banyak dijumpai, hanya saja seiring berjalannya waktu, penyembahan kepada banyak tuhan perlahan merayap masuk hingga ajeg. Bukankah seperti itu yang terjadi di Jazirah Arab sepeninggal Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail?
Kesimpulannya, terlepas suku-suku pedalaman dianggap primitif dan terbelakang, mereka tetaplah manusia yang diciptakan untuk satu tujuan; beribadah hanya kepada Penciptanya saja; tidak ditelantarkan, dibiarkan tanpa peringatan, atau diacuhkan sehingga di Hari Kiamat kelak tidak ada hadirnya seorang saksi yang dahulu juga memberi kabar gembira akan Janji Allah.
Foto muka: Aarontait Photography