WAKTU DHUHA DI ANATOLIA [Bag. 1]

Krasos 804 M

“Ziyad, di mana pemanah Bani Ghassan?

“Mereka di belakang kita tuan,”

“Berapa jumlah mereka?”

“Sekitar tigaratus orang,”

“Bawa mereka kemari, perintahkan untuk berjalan di belakangku, lalu bawalah limaratus tentara pejalan kaki dari Armenia, pecah mereka menjadi dua, posisikan masing-masing di kanan dan kiriku,”

Ziyad bergeming saja. Memecah formasi pasukan saat berhadapan dengan musuh seperti saat ini, pikirnya, rentan terhadap serangan kejut musuh. Orang ini benar-benar amatir dan tidak pantas memimpin pasukan sebesar ini, batinnya lagi.

“Ziyad?”

“Baik tuan,”

Setelah Ziyad melakukan apa yang diperintahkan, Ziyad berujar,

“Jika pengawalan yang engkau inginkan, biarlah aku dan duaratus pasukan berkudaku bersiap-siap di sekitarmu, siang dan malam, di saat engkau terlelap dan terjaga, namun biarkan mereka berada di posisi semula, tuan…”

Dia bergeming mendengar ucapan Ziyad. Tanpa berkata satu kata pun, dia segera turun dari kudanya. Seorang pembantunya segera memegang tali kekang kuda.

“Ziyad, bersiaplah. Jika tanda telah aku berikan, memutarlah dari sisi kanan dengan duaratus penunggang kudamu, lalu serang mereka dari arah belakang.”

“Aku tidak mengerti tuan, bukankah…”

“Perintahkan penunggang unta di sebelah kiri untuk melakukan hal yang sama, sehingga mereka terjepit dari dua arah,” sela tuannya.

“Tetapi mustahil kita mengapit tanpa mengunci pasukan tengah mereka, apakah engkau akan mengirim pemanah Ghassan dan limaratus tentara Armenia yang akan engkau kirim? Kalau demikian, mereka akan mati dalam waktu singkat saja, tuan…”

“Aku tidak mengirim mereka mengunci bagian tengah, tetapi aku yang akan memimpin mereka langsung, Insya Allah…”

Ziyad kembali bergeming. Tuannya menoleh kepadanya dengan sorot mata yang tajam. Ziyad menunduk selama dua detik, kemudian memandang kembali tuannya dan berujar,

“Baik tuan,”

Ziyad memutar kudanya ke belakang dan setengah berteriak memberi komando. Tak lama, tuannya Ziyad di apit oleh dua pasukan Armenia di kedua sisi dan disertai pemanah Ghassan di belakangnya.

Tiga formasi berjalan beriringan.

Tuannya Ziyad mengambil pedang kilij dari sarungnya, lalu mengadahkan kepalanya ke langit barang sebentar lalu menoleh ke kanan dan menyeru,

“Jaga jarak antara kalian, karena tidaklah kita berjalan melainkan mereka akan menembakkan panah. Jika bahu, atau tangan, atau lengan terkena, mundurkah kalian.”

Lalu ia menoleh ke sebelah kiri dan berkata,

“Jika kaki kalian terkena maka bersabarlah dan janganlah kalian mundur.”

Ia menoleh ke belakang dan berkata,

“Lupakan akurasi, tetapi tembakkanlah sebanyak-banyaknya. Jika ada pasukan berkuda menerjang kalian, buanglah busur dan cabutlah pedang kalian, dan bertahanlah, sesungguhnya jika kita tidak dapat menahan sisi tengah maka kematian lebih baik adanya.”

Tuannya Ziyad berjalan dengan mengarahkan pedangnya ke arah bawah, tepat di sebelah kaki kanannya.

Tuannya Ziyad kembali berteriak sembari berjalan, “Matahari ada di belakang kita, ia akan membutakan mata mereka, semoga…. Insya Allah.”

Para pasukan yang berjalan mengiringi tuannya Ziyad baru menyadari hal itu dan sebagian mereka mengadahkan kepala mereka ke atas lalu seketika mereka memalingkan pandangan mereka karena silau.

Dari arah belakang tiba-tiba datang Ziyad dengan mengendarai kuda, “Apa tanda darimu tuan agar kami dapat menyerang dari kedua sisi?”

“Saat kami yang berada di tengah ini mundur,”

Ziyad menyesal telah memandang tuannya itu pengecut. Belum pernah Ziyad selama karir militernya melihat jenderal pasukan memimpin langsung pertempuran di garis terdepan. Ziyad membalikan kudanya lalu bergegas ke posisi semula.

Seseorang kembali menghampiri tuannya Ziyad, “Tuan, aku Abu Musa dari Uballa, aku akan menemanimu berjalan,”

“Baiklah,” ujar tuannya Ziyad.

“Tuan, ini kedua putraku yang akan menemani kita. Kami adalah keluarga yang tuan kirimkan lima kantung kurma setiap hari dan seekor domba setiap pekannya.”

“Sesungguhnya semua itu dibiayai khalifah, aku hanyalah perantara,”

Abu Musa tersenyum dan mencabut pedangnya dari sarungnya dan diikuti oleh kedua putranya dan berujar, “Semoga kebaikan menyertaimu,”

Pergerakan tampak dari arah depan. Seketika itu anak-anak panah melesat melambung menuju arah mereka.

“Bersiaplah,” ujar Abu Musa.

Bersambung

2 thoughts on “WAKTU DHUHA DI ANATOLIA [Bag. 1]

Leave a comment