Di tahun 1955, Majalah TIME dalam edisi 12 Desember 1955 yang berjudul Dawn of Religion menulis: Manusia purba hanya dapat membayangkan tentang adanya kekuatan supernatural di belakang fenomena-fenomena alam yang bergulir secara teratur. Seiring terbit dan terbenamnya matahari yang berlangsung di setiap harinya, serta siklus pergantian musim dan rotasi bintang-bintang di malam hari, manusia purba hanya bisa merasakan takut sembari bertanya-tanya tentang kemungkinan hal tak terduga seperti apa yang mungkin akan terjadi pada alam; seperti retakan tanah akibat gempa dan kilat yang menyambar secara tiba-tiba dari langit. Di sinilah asal-muasal kepercayaan akan kekuatan supernatural itu muncul.[1]
Spencer menulis dalam bukunya berjudul How It Began bahwa penyembahan kepada orang yang telah mati, termasuk kepada nenek moyang, adalah pijakan awal agama manusia. Ketakutan yang berbuah ketuhanan ini diafirmasi Samuel Zwemer dalam bukunya In The Origin of Religion dimana ia mengutip perkataan Lewis Browne bahwa pada awalnya, hati manusia dipenuhi oleh ketakutan yang intensif hingga ia mengendalikan tindak-tanduk manusia primitif, dan ketakutan terus-menerus akan fenomena alam ini membuat manusia purba tinggal di gua-gua[2].
Senada dengannya, Loyal Rue memandang bahwa pada awalnya sekelompok kecil manusia purba yang memiliki kemiripan dengan simpanse melakukan aktivitas survival dengan menjadi pemburu dan mengumpulkan hasil buruan demi menyambung hidup mereka (hunter-gatherer). Setelah itu intelektual mereka berkembang hingga mereka berkumpul bersama di dalam unit sosial dengan jumlah yang semakin membesar. Menurut Rue, saat manusia berkumpul kala itu, mereka sangat membutuhkan kisah yang dapat memberi mereka jawaban tentang asal-usul mereka, darimana mereka datang, dan seluk-beluk keberadaan mereka lainnya. Dari sanalah ide tentang agama berasal, yakni dari dongengan yang terus menerus dikisahkan sebagai kebutuhan manusia untuk menemukan jati diri mereka. Agama dan tuhan bagi Rue adalah dongeng.
Lain halnya bagi Nietzsche, filosof pencetus nihilisme, ia mengatakan tuhan itu hanyalah ide manusia yang subyektif dalam alam pikir manusia dan tidak ada dalam realitas obyektif[3]. Berbeda lagi teori asal muasal agama dari filsuf Jerman Karl Marx. Marx menyimpulkan bahwa doktrin agama yang menyeru kepada kepatuhan pada otoritas, kebangsawanan, nilai kerendahan hati, dan hal-hal semisalnya merupakan manipulasi yang dilakukan oleh kalangan kelas sosial yang lebih tinggi agar membuat rakyat dan kelas sosial yang lebih rendah untuk terus-menerus patuh kepada otoritas, yang bagi Marx merkea adalah kaum penindas yang serakah. Oleh sebab itu, agama bagi Marx adalah instrumen untuk mendominasi massa. Bagi Mark, agama adalah candu masyarakat (opium of the mass)[4] agar manusia dapat keluar dari ketidakberdayaannya dan dapat menalar segala bentuk ketidakadilan yang mereka alami.
Jika Marx menganggap agama adalah buah dari respon manusia terhadap keadaan ekonomi, maka Robert Wright dalam bukunya The Evolution of God mengatakan bahwa agama itu selalu bernuansa politis. Bagi Wright, agama lahir dari respon manusia terhadap perubahan ekonomi, politik, dan peperangan.
Tren ini juga menular ke cabang ilmu lainnya seperti antopologi. Dalam diskursus asal-muasal agama manusia, para sosiolog juga menggunakan teori evolusi Darwin untuk menjustifikasi perubahan agama.[5]. Emile Durkheim misalnya, ia mengatakan bahwa masyarakat itu sendiri sudah cukup sebagai faktor penting bagi lahirnya rasa berketuhanan dalam jiwa[6]. Artinya, kumpulan dari manusia-lah yang menicaptakan tuhan, bukan sebaliknya.
Kesimpulannya, bagi evolusionis, mustahil monoteisme adalah agama awal manusia sebab konsep agama monoteisme yang luhur ini membutuhkan intelektual yang matang dan maju, sesuatu yang mustahil dimiliki oleh manusia purba di fase awal evolusi. Ini dikarenakan pandangan bahwa pencipta alam semesta yang satu, memiliki kekuatan tak terbatas, memiliki wujud yang berbeda dari ciptaanya, dan tidak dapat digapai oleh indera manusia adalah konsep yang terlampau “canggih” bagi manusia primitif.
Bersambung, Insya Allah
[1] Monotheism Preceded Polytheism. The Watchtower Announcing Jehovah’s Kingdom, 1957. https://wol.jw.org/en/wol/d/r1/lp-e/1957043. Akses 22/09/2020
[2] Lewis Browne dalam This Relieving World, dikutip oleh Samuel Zwemer dalam In The Origin of Religion. Cokesburry, Nashville, Tennessee, 1953. Hal. 53.
[3] Dr. Hamid Fahmy Zarkasy. Misykat: Refleksi Tentang Westernisasi, Liberalisasi, Dan Islam. Jakarta, INSIST – MIUMI, 2012. Hal, 23.
[4] Religion as the Opium of the Masses: A Study of the Contemporary Relevance of Karl Marx. Asian Research Journal of Arts & Social Sciences, published 29 September, 2016.
[5] Op cit., hal, 34.
[6] Op. Cit., hal, 21.