“Primitive Monotheism” [Bagian 1]

Konon, circa 200.000 tahun silam, Homo Sapiens berjalan di tengah padang rumput mencari hewan buruan. Ia mendengar gemuruh guntur dan kilatan halilintar di langit, merasakan hembusan angin yang menggerakkan pepohonan dan rerumputan. Hujan, menghilangnya matahari berganti gemintang, gempa dan gerhana; Homo Sapiens semakin takjub sekaligus takut. Dengan keterbatasan nalarnya, semua tayangan fenomena alam di sekitarnya menjadi misteri besar dan imbasnya bagi keselamatan dirinya. Ia mulai menciptakan konsep metafisik dengan meyakini adanya kekuatan lain di luar dirinya, di luar dari apa yang tampak oleh indrawi. Kemudian mulailah ia mengasosiasikan segala fenomena alam dengan apa yang kita kenal dengan kekuatan supernatural, ide mengenai kekuatan yang “tak terlihat”. Ketakutan membawa Homo Sapiens ber-taqarrub kepada kekuatan eksternal itu.

Seiring berjalannya waktu, berkembanglah penalaran Homo Sapiens. Ia menjadi, lebih logis, lebih empirik. Alhasil, konsep supernaturalnya juga berevolusi, dari penyembahan terhadap benda alam menjadi keyakinan adanya kekuatan-kekuatan berjumlah banyak. Tidak lagi seperti pohon, sungai, air terjun, bulan, bintang, matahari, dan batu besar, melainkan ia menemukan konsep ruh. Lalu ia menciptakan konsep tuhan, sesuatu yang bagi mereka lebih kuat dibanding ruh. Di fase ini, terdapat banyak tuhan yang masing-masing memiliki kekuatan dan kekuasaan unik dalam di alam dunia dan juga alam setelah mati nanti.

Selanjutnya, evolusi Homo Sapiens membawa mereka pada keyakinan adanya satu tuhan yang paling kuat di antara tuhan-tuhan yang banyak itu. Lalu puncaknya, bagi evolusionis, mereka tiba pada penyembahan satu tuhan (monoteisme). Judaisme, Nasrani, dan Islam berada di tahap ini. Tuhan tunggal yang “unik” ini ada di atas langit dengan kekuasaan tak terbatas. Dengan monoteisme primitif ini Homo Sapiens telah sampai pada sebuah konsep agama yang “modern” dan “luhur”, sebuah konsep agama yang berada pada puncak dari sebuah garis lurus evolusi yang bermula dari bawah ke atas; dari primitif semakin modern.

Charles Darwin memang tidak menulis bab khusus mengenai evolusi agama, namun bukunya The Origin of Species mendorong hipotesa bahwa agama merangkak melalui proses evolusi. Perjalanan spiritual homo sapiens di atas juga mewakili teori kelahiran agama manusia dalam pandangan Immanuel Kant. Ia berkata, “Agama adalah produk dari penalaran empiris yang terbatas[1].” Ketidakmampuan Homo Sapiens dalam menalar fenomena alam yang terjadi berujung pada ketakutan yang menyebabkan “kerinduan” akan figur pelindung yang dapat menjaga mereka dari ketidakpastian alam. Figur ini secara simplistik dipersepsikan sebagai figur seorang “ayah” dan Sigmund Freud meyakini bahwa tuhan berasal dari kebutuhan dasar manusia akan sosok “ayah” ini[2].

Max Muller menyimpulkan, agama berkembang seiring pengamatan kumpulan orang-orang primitif terhadap benda-benda langit semisal matahari, bulan, dan bintang. Kemudian manusia primitif mulai mempersonifikasi benda-benda tersebut dan berbuntut pada penyembahan kepada celestial bodies (benda-benda langit). Berdasarkan teori Muller ini kita dapat menelusuri asal-muasal istilah mother nature.

E. B. Tylor pun angkat suara. Bagi Tylor, konsep agama dan tuhan berasal dari mimpi. Bukanlah mimpi sebagai sepertiga kenabian dalam perspektif Islam atau seperenam dari kenabian seperti tertera dalam Talmud (Brachot 57b), namun mimpi memperkenalkan manusia akan konsep kekuatan di luar dirinya melalui penampakkan sosok-sosok tertentu. Melalui mimpi pula manusia menciptakan konsep adanya hari dimana manusia dibalas atas perbuatannya. Menurut Tylor lagi, keadaan manusia yang mendorong munculnya konsep agama adalah penderitaan saat sakit dan kematian.[3]

James George Frazer tidak ketinggalan. Ia mengatakan bahwa agama adalah upaya manusia untuk mengendalikan alam. Upaya untuk mengendalikan alam ini ditengarai oleh ketidakpastian alam. Sebab, bagi mereka sesuatu yang tak terkendali membuahkan hilangnya rasa aman dan kenyamanan bagi keberlangsungan hidup Homo Sapiens. Teori ini juga Frazer tuangkan dalam bukunya The Golden Bough. Frazer memandang upaya manusia primitif ini di kemudian hari mendorong kemunculan praktek sihir di kemudian hari.

Memang, sejak Darwin mempublikasikan bukunya berjudul The Origin of Species, bermunculan pula beragam pandangan bahwa segala sesuatu itu selalu dalam fase perkembangan yakni dari fase rendah ke fase lebih tinggi; bermula dari yang bentuknya yang terendah lalu berangsur-angsur menjadi baik dalam semua aspek, baik anatomi maupun intelektual, termasuk konsepnya tentang agama, dus, tuhan. Seiring ide-ide manusia yang semakin tinggi dan luhur, manusia menjadi semakin produktif sehingga hal itu turut mendorong lahirnya konsep agama yang semakin baik.[4] Paradigma ini merambah juga ke cabang ilmu sejarah, sosiologi, dan antropologi. Teori evolusi, singkatnya, menganggap manusia itu bermula dari bentuk yang “mentah” dan rendah, primitif, kemudian secara gradual menjadi bentuk yang lebih baik dalam segala aspek melalui tahapan yang panjang dan kompleks.

Bersambung, insya Allah


[1] Jessica Whittemore. Theories on the Origins of Religion: Overview. Study.com. Lesson 2. Akses: 23-08-2018)

[2] Winfried Corduan. Neighboring Faiths, Downers Grove, Intervarsity Press, 1998 – via bible.org).

[3]Wilhelm Schimdt. The Origin and Growth of Religion: Facts and Theories. Diterjemahkan dari buku asli berbahasa Jerman ke dalam bahasa Inggris oleh H.J. Rose. Methuen & CO. LTD. 36 Essex Street W.C. London. Hal, 74-75.

[4] Arthur C. Custance. Evolution or Creation. The Doorway Papers, Volume 4, 1976, Zondervan Publisihing House, Michigan, USA.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s