Makabe Dan Hanukkah

Bismillah


Aleksander dari Makedon, seorang penyembah banyak dewa, menyukai sesama jenis (termasuk beberapa jenderalnya sendiri) serta gemar meminum khamr, telah menaklukkan wilayah dari Yunani hingga Sungai Indus, tidak terkecuali Palestina dan Al Quds di abad 4 SM. Sistem logistik, formasi phalanx dengan tombak sepanjang 5.4-6 meter bernama sarissa, kedisiplinan tinggi, latihan intensif, serta tradisi militer yang mengakar di kalangan pasukannya, Aleksander memimpin orang-orang Makedonia meraih kejayaan militer di timur. Pada tahun 334 SM ia bertolak dari negerinya dan menguasai negeri yang kini bernama Turki, seluruh wilayah Timur Tengah yang kita kenal pada hari ini, juga seluruh wilayah Persia hingga Pakistan.

Kekuasaan begitu luas ini ia capai di usianya yang tidak melampaui 35 tahun! Setelah wafat, seluruh wilayah Aleksander terbagi menjadi tiga, yakni Mesir, Palestina, dan Baktra di ujung timur wilayah Persia. Masing-masing distrik itu dipimpin oleh jenderal-jenderal Aleksander. Di Al Quds, jenderal Aleksander yang memimpin wilayah itu selepas matinya Aleksander adalah Seleucus I Nicator.

Mengenai mitos Alexander telah Penulis ulas dalam buku yang terbit Agustus 2020 silam:

https://salafologi.wordpress.com/2020/08/21/buku-kedua-zulkarnain-agung-antara-cyrus-dan-alexander/

Awalnya orang-orang Yahudi bebas menjalankan agama mereka tanpa ada persekusi di bawah rezim Seleucid. Namun ketika salah seorang raja mereka bernama Antiochus IV mulai memaksakan kultur Yunani di Al Quds, orang-orang Makedon dan Yunani yang pagan mulai membawa babi ke dalam Haikal Sulaiman dan menyembelihnya untuk dipersembahkan kepada dewa Zeus mereka. Praktek khitan juga dilarang oleh mereka, ajaran-ajaran Taurat pun dianggap melanggar hukum.[1] Kaum Yahudi di bawah pemerintahan Antiochus Epiphanes IV benar-benar hina dina, kehilangan wibawa, dan terus-menerus ditekan.

Karena kebijakan Antiochus yang represif ini, seorang Yahudi taat bernama Matthias membunuh salah satu orang Yahudi yang dianggap menjilt dan manut dengan kebijakan Anthiocus. Setelah itu Matthias melarikan diri ke wilayah terpencil bersama lima putranya. Selepas kematian ayah mereka, salah satu dari kelima putranya bernama Yehudah menyeru kaum Yahudi untuk melawan rezin Anthiocus dan Matthias sendirilah yang memimpin mereka. Atas keberaniannya dan militansinya, Yehudah diberi gelar oleh pengikutnya sebagai “Palu”, atau maccabee dalam bahasa Ibrani.[2] Dalam perlawannya melawan Antiochus, Yehudah sering mengadopsi taktik dan strategi militer musuhnya.

Revolusi Yehudah menuai sukses gemilang hingga ia berhasil merebut kembali Haikal Sulaiman dan mendedikasikan kembali tempat itu sebagai tempat suci dan rumah ibadah bagi umat Yahudi. Tatkala ia memasuki Haikal Sulaiman, ia menyingkirkan semua berhala dan bekas-bekas sesembelihan orang-orang Yunani. Untuk mengembalikan ritual di dalam Haikal Sulaiman seperti sedia kala, para pemuka agama Yahudi harus menyalakan tujuh lilin di tujuh tangkai Kandil bernama Menorah Suci.

Karena stok untuk kebutuhan ritual agama di dalam Haikal Sulaiman dalam keadaan minim, hanya terdapat sedikit minyak untuk menyalakan ketujuh lilin itu. Sementara itu jumlah minyak hanya dapat menyalakan seluruh lilin tersebut untuk satu hari, sedangkan pasokan logistik baru akan tiba delapan hari ke depan. Namun minyak yang sedikit itu ternyata cukup untuk menyalakan seluruh lilin tersebut selama delapan hari. Bagi tradisi Judaisme, ini merupakan keajaiban.

“Keajaiban” ini yang melatarbelakangi perayaan chanukah atau hanukkah. Hingga hari ini, perayaan Hanukkah yang disebut juga Festival Kenisah yang di Indonesia dirayakan selama delapan hari di setiap tahunnya oleh umat Yahudi. Di antara menu hidangan dalam perayaan ini adalah segala sesuatu yang digoreng dengan minyak seperti donat dan latkes, panekuk dari kentang yang digoreng.[3]

Seorang peneliti Yahudi mengklaim perayaan Hanukkah adalah perayaan umat Islam juga, sebab ia adalah perlawanan terhadap kesyirikan, dan ini terjadi beberapa abad sebelum munculnya dakwah Nasrani. Peneliti Yahudi itu mungkin melihat dari aspek historis, namun demikian tidak ada satupun ulama yang mengaitkan antara Hanukkah dengan tradisi keislaman, terlebih mengambil dasar dari Al Qur’an dan Assunnah, meski peristiwa ini memang sepintas diisyaratkan dalam berbagai karya ulama klasik semisal Ibnu Katsir dan At Thabari.


[1] Steven H. Werlin. The Maccabean Revolt: Between Tradition and History. Teaching the Bible: An e-newsletter for public school teachers by Society of Biblical Literatur. Hal, 1. https://www.sbl-site.org/assets/pdfs/TB5_Maccabees_SW.pdf.

[2] Ibid.

[3] Ibid.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s