Selain Al ‘Aziz, tokoh pembesar Mesir lainnya yang disebutkan Al Qur’an dalam konteks kisah Nabi Yusuf adalah Al Malik. Allah Berfirman dalam surah Yusuf ayat 43:
وَقَالَ ٱلْمَلِكُ إِنِّىٓ أَرَىٰ سَبْعَ بَقَرَٰتٍ سِمَانٍ يَأْكُلُهُنَّ سَبْعٌ عِجَافٌ وَسَبْعَ سُنۢبُلَٰتٍ خُضْرٍ وَأُخَرَ يَابِسَٰتٍ ۖ يَٰٓأَيُّهَا ٱلْمَلَأُ أَفْتُونِى فِى رُءْيَٰىَ إِن كُنتُمْ لِلرُّءْيَا تَعْبُرُونَ
“Berkata Al Malik [diterjemahkan dengan raja-pen], “Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang kering”. Hai orang-orang yang terkemuka: “Terangkanlah kepadaku tentang ta’bir mimpiku itu jika kamu dapat mena’birkan mimpi”.
Lalu dalam surah Yusuf ayat 50, Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَقَالَ ٱلْمَلِكُ ٱئْتُونِى بِهِۦ ۖ فَلَمَّا جَآءَهُ ٱلرَّسُولُ قَالَ ٱرْجِعْ إِلَىٰ رَبِّكَ فَسْـَٔلْهُ مَا بَالُ ٱلنِّسْوَةِ ٱلَّٰتِى قَطَّعْنَ أَيْدِيَهُنَّ ۚ إِنَّ رَبِّى بِكَيْدِهِنَّ عَلِيمٌ
“Al Malik [diterjemahkan raja-pen] berkata: “Bawalah dia kepadaku”. Maka tatkala utusan itu datang kepada Yusuf, berkatalah Yusuf: “Kembalilah kepada tuanmu dan tanyakanlah kepadanya bagaimana halnya wanita-wanita yang telah melukai tangannya. Sesungguhnya Tuhanku, Maha Mengetahui tipu daya mereka”.
Kemudian dalam surah Yusuf ayat 72, Allah Berfirman:
قَالُوا۟ نَفْقِدُ صُوَاعَ ٱلْمَلِكِ وَلِمَن جَآءَ بِهِۦ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا۠ بِهِۦ زَعِيمٌ
“Penyeru-penyeru itu berkata: “Kami kehilangan piala Al Malik, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya”.
Dalam konteks kisah Nabi Yusuf berdasarkan ayat-ayat Al Quran di atas, raja yang memerintah Mesir di masa Nabi Yusuf tersebut adalah Al Malik. Sebaliknya, Al Quran tidak menyebut “Fir’aun” dalam konteks kisah Nabi Yusuf, barulah ketika masuk ke dalam konteks era Nabi Musa di Mesir, sebutan Fir’aun muncul yakni sebanyak 79 kali.
Tetapi di dalam Perjanjian Lama, penyebutan Fir’aun muncul dalam kisah biblikal Joseph, di antaranya dalam Kitab Kejadian (Genesis) 40:11, 41:16, 41:25, 41:44, 45:16, 47:7-8, 47:10, dan lainnya. Sedangkan dalam konteks kisah biblikal Musa, raja Mesir juga disebut Fir’aun di antaranya dalam Kitab Keluaran (Eksodus) 5:20, 7:10 dan 14, 8:25, 9:35, 11:24, 8:12, 8:30 dan lainnya. Berbeda dengan Al Qur’an, dalam bibel Yahudi, semua raja Mesir disebut Fir’aun baik itu di era biblikal Joseph dan Moses.
Telah disepakati baik oleh umat Islam dan ahli kitab bahwa Nabi Yusuf di utus sebelum Nabi Musa. Meski demikian, tidak ada timeline pasti berapa lama jarak antara kedua Nabi Allah yang diutus di negeri Mesir tersebut. Jika merujuk kepada timeline yang disusun oleh ahli kitab dan dikompromikan dengan timeline yang disusun para ahli sejarah Mesir kuno, Nabi Yusuf hidup di antara 2000 SM – 1600 SM. Jelas tampak, Nabi Yusuf mendahului era Nabi Musa.
Menurut Encyclopaedia Britannica, pharaoh (Fir’aun) berasal dari per ‘aa yang berarti “rumah agung” dan digunakan sebagai sebutan bagi istana kerajaan di Mesir. Pharaoh kemudian baru digunakan sebagai gelar raja Mesir di era dinasti New Kingdom yang berkuasa sekitar tahun 1570-1069 SM dan di era dinasti ke-22 (945-730 SM). Ini berarti titel pharaoh atau Fir’aun tidaklah digunakan melainkan di masa-masa akhir kerajaan Mesir. Dalam hal ini, gelar Fir’aun tidaklah ada di era dimana biblikal Joseph hidup, ia baru muncul di era biblikal Musa hidup yakni di era New Kingdom. Maka, gelar pharaoh tidak terdapat di era dinasti Hyksos, era dimana biblikal Jospeh hidup menurut ahli kitab. Sebab, bangsa Hyksos tiba di negeri Mesir pada abad 18 SM dan berkuasa di sana pada periode Second Intermediate atau antara 1650 SM dan 1630 SM. J
Begitu pula dengan Al Qur’an. Penyebutan Fir’aun hanya muncul dalam konteks Nabi Musa, dan dalam konteks Nabi Yusuf tidak terdapat penyebutan “Fir’aun”. Tentu di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kajian Mesirologi belum lagi ada dan beliau tidak dapat membaca atau menulis aksara hiroglif.
Allah berfirman,
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلْقُرْءَانَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ ٱللَّهِ لَوَجَدُوا۟ فِيهِ ٱخْتِلَٰفًا كَثِيرًﺍ
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau sekiranya al-Qur`ân itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya… [QS. An-Nisaa’: 82]
Mengenai ayat di atas, Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Seandainya Al-Qur’an hasil bikinan (Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam), sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang jahil musyrikin dan orang-orang munafik di dalam hatinya, niscaya mereka akan menemukan di dalamnya kerancuan dan banyak kontradiksi, padahal terbukti bahwa Al Qur’an terbebas dari hal itu, maka ia berarti berasal dari Allah.”
Kesimpulannya, data sejarah Mesir kuno, telah disepakati bahwa penggunaan kata Fir’aun (فرعون) di dalam Al Quran hanya ada dalam konteks Nabi Musa di Mesir. Berbeda dengan bibel, sebutan Al Malik dan Al ‘Aziz hanya muncul dalam konteks Nabi Yusuf. Adapun gelar Fir’aun baru muncul di zaman Nabi Musa.
Sebaliknya, jika merujuk pada sumber-sumber orientalis, penggunaan kata Fir’aun dalam kisah biblikal Ibrahim dan Joseph dalam Perjanjian Lama adalah anakronisme – ketidaksesuaian kronologis pelaku sejarah atau peristiwa. Sebab Fir’aun hanya muncul pertama kali di era Nabi Musa, era yang dikaitkan dengan era New Kingdom, berabad-abad setelah era Nabi Ibrahim dan Nabi Yusuf. Wallahu A’lam.