Mesirologi Dan Postkolonialisme

Al Idrisi merupakan tokoh sentral dalam kajian Mesir kuno dan dapat dikatakan pionir bidang arkeologi. Melalui sebuah karyanya berjudul Anwar Ulwiy alAjram, ia mendiskripsikan rute menuju lokasi piramida, bangunannya, aksara-aksara hiroglif, mengukur dimensi dan menganalisa bentuk piramida. Beliau juga mengajukan teori untuk apa piramida itu dibangun menggunakan metode kritik literatur dari 22 kutipan otoritatif. Di atas semua itu, beliau juga mendedikasikan bab awal dari salah satu kitabnya dengan mengutip sejumlah ayat-ayat Al Quran yang memotivasi kaum muslimin mempelajari sejarah dan peninggalan umat terdahulu. Studi Al Idrisi terhadap Mesir kuno tidak terlepas dari cara pandang Islami.

Hal itu lumrah, sebab, Mishr di dalam Al Quran disebutkan sebanyak empat kali, dua di antaranya dalam konteks kisah Nabi Yusuf yakni dalam surat Yusuf ayat 21 dan 99. Lalu dua penyebutan lainnya muncul dalam konteks era Nabi Musa yakni dalam surat Yunus ayat 87 dan Az Zukhruf ayat 51.

Al Idrisi secara rutin mengunjungi situs-situs Piramida untuk meneliti dan memverifikasi ulang ukuran piramida. Meski demikian, kontribusinya kurang mendapat tempat di kajian Egyptology modern meski Al Idrisi telah berjalan di atas sebagian metode penelitian ilmiah untuk standar sains modern. Sementara itu, di masa hidup Al Idrisi, Eropa masih dirundung awan hitam “The Dark Age” sejak abad 5 M dan baru berakhir di abad 14 M.

Pada masa hidup Al Maqrizi dan Al Idrisi, Eropa belum bangkit dari keterpurukan, apalagi menggiatkan aktivitas intelektual dalam bidang sains. Di kemudian hari, Eropa mengadopsi banyak dari landasan ilmu yang diletakkan ilmuwan muslim, mulai dari astronomi, geografi dan kartografi, kedokteran, matematika, kimia, fisika, aviasi, penyusunan ensiklopedia, filsafat, dan tidak terkecuali kepurbakalaan seperti Egyptology ini.

Menurut Okasha el Daly dalam bukunya Egyptology: The Missing Millenium, sudah 100,000 judul buku yang telah ditulis mengenai Mesir kuno selama lebih dari dua ribu tahun terakhir. Karya pertama mengenai Mesir kuno adalah Aegyptiaca yang ditulis pada abad ke-3 oleh sejarawan Yunani bernama Manetho. Selain Al Idrisi, kajian Mesir kuno dari kalangan kaum muslimin datang salah satunya dari Al Maqrizi. Beliau telah memaparkan informasi yang kaya mengenai sejarah Piramida di dalam kitabnya Al-Khitat, serta sejarah Mesir sejak zaman sebelum Banjir Besar (antediluvian).

Curiusmos

Dr. Okasha El Daly mengatakan kontribusi ilmuwan Arab Muslim dalam memecahkan teks-teks kuno peradaban Mesir kurang mendapat tempat dan perhatian oleh peneliti kajian Mesir kuno modern meski sumbangsih muslim dalam kajian Mesir kuno sudah diafirmasi oleh para orientalis di abad 19 M. Misalnya, di tahun 1806, orientalis bernama Joseph von Hammer menerbitkan terjemahan kitab Ibn Wahshiyah ke dalam bahasa Inggris secara lengkap, sebuah kitab yang berasal dari sekitar tahun 900 M berisikan kode-kode hiroglif yang telah dipecahkan.[1]

Sehingga, studi Mesir kuno yang berkaitan erat dengan bidang arkeologi terkesan sebagai produk intelektual barat modern. Tokoh yang populer dikaitkan dengan inisiasi kajian Mesir kuno adalah Jean-François Champollion, seorang sarjana barat yang telah berhasil memecahkan dan membaca aksara hiroglif yang di kemudian hari melahirkan kajian Egyptology. Padahal, bangsa Eropa hanya memiliki sedikit pengetahuan perihal Mesir kuno sebelum akhir abad 18 M, sementara peneliti muslim telah menginisiasi kajian Mesir kuno sejak Al Ma’mun, raja dinasti Abbasiyah.

Menurut Dr Okasha El Daly, mayoritas peneliti Mesir kuno di barat meyakini bahwa tidak ada pengetahuan tentang Egyptology di luar dari konteks literasi Eropa baik dari era klasik hingga era pencerahan (Enlightment).[2] Oleh sebab itu dapat kita pahami mengapa para ilmuwan muslim yang meneliti Mesir kuno tidak terdengar gaungnya di kalangan umat Islam.

Menurut Okasha El Daly, ada upaya menyingkirkan para peneliti Mesir dari kajian Mesir kuno dengan cara mencegah keikutsertaan “peneliti lokal“ dalam mengkaji sejarah mereka sendiri. Hal ini berujung pada dominasi barat terhadap ranah ini. Implikasi serius dari dominasi Eropa-sentris dalam kajian ketimuran, dalam hal ini Mesir kuno, mempengaruhi narasi sejarah suatu kaum. Ketika bangsa Persia menaklukkan Mesir di abad 5 SM misalnya, Yunani menarasikan bahwa raja Persia begitu benci terhadap orang Mesir dan agama mereka, sebuah narasi – menurut Dr Okasha El Daly – yang merefleksikan apa yang (ingin) diyakini oleh musuh bangsa Mesir – yakni Yunani/barat.[3] 

Al Quran dan Assunnah telah meletakkan dasar-dasar seluruh ilmu, dan ilmu-ilmu yang dikembangkan oleh para ilmuwan muslim kemudian diikuti oleh banyak pelopor sains barat. Sejak awal, para ilmuwan muslim tidak pernah meletakkan kajian sains di atas asas sekulerisme, barulah ketika tiba “era pencerahan” barat di Eropa, nilai spiritual dan moral terpisah dari berbagai studi sains.

Kita cermati, seluruh penyebutan dan isyarat Al Quran tentang Mesir bersinggungan dengan Mesir kuno (Ancient Egypt). Oleh sebab itu, kajian Egyptology juga bersinggungan nilai Islam. Dalam kisah Nabi Yusuf dan Nabi Musa di dalam Al Quran misalnya, terdapat banyak elemen penting dalam kajian Egyptology, di antaranya isyarat adanya dimensi politik ketika dinasti non-Mesir (Hyksos, dari bangsa Semit) memerintah negeri Mesir, kemudian peristiwa imigrasi bangsa Israil akibat kebijakan represif Ramsess II, kemudian terjadinya wabah kekeringan di suatu masa, juga mengenai metode penyiksaan kuno, keterangan mengenai bahan dasar bangunan dari tanah liat yang dibakar, hirarki keagamaan Mesir kuno, hingga sejumlah intrik istana. Di atas semua itu, hal-hal tersebut juga memiliki nilai spiritualitas dan moralitas.

http://what-when-how.com

Kajian Mesirologi dan ketimuran lainnya yang diinisiasi oleh umat muslim masih relatif rendah. Padahal keikutsertaan mereka dapat mengurangi bias bahwa kajiajn ketimuran merupakan studi eksotis, penuh keanehan dongeng dan legenda, erotis, misterius, sensual, primitif, kental dengan fanatisme, dan vandal. Bagi Benjamin Disraeli, sebagaimana dikutip Edward Said dalam bukunya “Orientalism”, studi ketimuran adalah lahan menjanjikan bagi karir seorang scholar di barat – The East is a career.[4]

Dalam pop culture misalnya, gambaran Hollywood dalam 1001 Malam, seperti Aladin misalnya, dunia Arab digambarkan begitu eksotik; dengan istana yang dikesankan sebagai “Abbasiyah” penuh dengan wanita tidak menutup aurat, di jalanan pasar yang dikesankan sebagai “Baghdad” dijejali bandit dan pedagang licik serta para saudagar berjubah mewah dan pengemis tergeletak di pinggir jalan – mencerminkan paduan erotisme, keterbelakangan, dan romantisme. Melalui bait soundtrack film Aladin yang diproduksi di tahun 1992:

Where they cut off your ear, If they don’t like your face, It’s barbaric, but hey, it’s home. ([Tempat] Dimana mereka memotong telingamu apabila mereka tidak menyukai wajahmu. Memang barbar, tapi itulah “rumah).

Alhasil ketika menyelami studi ketimuran, seperti Mesir kuno misalnya, kemaslahatan bangsa itu sendiri seringkali tidak mendapat perhatian khusus. Dalam banyak kasus, studi ketimuran dilakukan untuk mengukuhkan identitas dan cara pandang barat yang berbeda dengan timur sebagai peradaban yang “incompatible” dan “distant”.

Tidak banyak yang ingat bahwa seribu tahun sebelum Champollion mempelajari hiroglif, para ilmuwan dinasti Abbasiyah lebih dahulu mempelajari hiroglif secara sistematis. Champollion bukanlah orang pertama dan dia sendiri menyadari hal itu. Bahkan, ia mengakui bahwa ketidakmampuannya berbahasa Arab mencegahnya dari mempelajari monograf-monograf yang ditulis oleh ilmuwan muslim. Konon, tenggorokan Champollion sampai terasa sakit dalam upayanya belajar mengucapkan lafaz-lafaz Arab.

Di antara tesis Edward Said dalam bukunya Orientalism, terkadang studi ketimuran memproduksi ilmu dengan memunculkan paradigma baru dan membawa studi itu untuk menguatkan casus belli imperialisme dan kolonialisme, dan interpretasi barat akan identitas timur itu sendiri.

Wisnu Tanggap Prabowo

***


[1] Okasha El Daly. Egyptology: Missing Millenium – Ancient Egypt in Medieval Arabic Writings. UCL Press, London, 2005. Hal, 57

[2] Ibid, Okasha El Daly, hal, 2.

[3] Ibid, Okasha El Daly, hal, 5.

[4] Edward Said. Orientalism. Penguin Books, London, 2003. Hal, xxvi.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s