Paganisme Paksa, Persekusi Najran: Intoleransi Rezim Abad Kuno Akhir

Pada tahun 250 M, kaisar Decius melakukan tekanan kepada umat Nasrani. Kaisar Romawi itu menetapkan Nasrani adalah agama ilegal dan pemicu polarisasi serta kegaduhan dengan pandangannya yang dianggap “terlalu aneh” bagi paganisme Romawi, oleh karenanya, kaisar menuntut agar mereka yang berada di bawah naungan Romawi agar menunjukkan kesetiaannya kepada tuhan-tuhan Romawi dengan cara memberi persembahan di altar-altar ditujukan kepada dewa-dewa Romawi. Jika rakyat menuruti imbauan itu, warga akan mendapat semacam sertifikat bernama libellus. Mereka yang menolak akan mendapat hukuman, termasuk eksekusi.

Praktek semisal ini serupa dengan apa yang dikabarkan oleh Rasul yang mulia, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dalam penggalan sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad:

Ada dua orang berjalan melewati sebuah kaum yang memiliki berhala, yang mana tidak boleh seorangpun melewatinya kecuali dengan mempersembahkan sesuatu untuknya terlebih dahulu, maka mereka berkata kepada salah satu di antara kedua orang tadi: “Persembahkanlah sesuatu untuknya!” Ia menjawab: “Saya tidak mempunyai apapun yang akan saya persembahkan”, mereka berkata lagi: “Persembahkan untuknya walaupun seekor lalat!” Maka iapun mempersembahkan untuknya seekor lalat, maka mereka membiarkan ia untuk meneruskan perjalanannya, dan iapun masuk ke dalam neraka.

Kita tidak memastikan bahwa persekusi Decius ini adalah peristiwa yang dimaksud di dalam hadis di atas (cocoklogi adalah momok para penggiat sejarah). Namun demikian, pemaksaan agama dan pemurtadan oleh negara (state) telah terjadi di zaman late antiquity dan berjalan hingga hari ini, misalnya, persekusi dan eksekusi kaum muslimin di Uyghur.

Kaisar Decius ini juga disebut sebagai kaisar di era dimana para pemuda Ashabul Kahfi hidup sebagaimana dikatakan Ibnu Jarir.

Usai rezim Decius seiring matinya sang kaisar di tahun 251 M, sejumlah kaisar menjabat silih berganti. Di antara mereka ada yang lunak terhadap kaum Nasrani namun ada juga yang keras. Hingga pada tahun 284 M, naiklah seorang kaisar bernama Diocletian. Ia merestrukturisasi imperium dari aspek politik, militer, dan ekonomi, dan di antara agenda besarnya adalah menyatukan (unity and pluralism) agama di seantero wilayah imperium Romawi. Alhasil, Diocletian memerintahkan agar gereja-gereja ditutup, memusnahkan kitab-kitab yang dianggap sakral oleh Nasrani, dan juga menangkap para pemimpin agama Nasrani. Semua persekusi ini baru berakhir ketika kaisar Contsantine naik tahta pada tahun 306 M. Constantine adalah kaisar Romawi yang memeluk agama Nasrani.

Berbeda dengan persekusi Romawi terhadap Nasrani, di Arab Selatan di masa sebelum kenabian Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, kaum Nasrani mengalami persekusi lainnya oleh Yahudi. Kali ini kaum Nasrani di Najran tidak dipaksa untuk menyembah berhala atau memberikan persembahan kepada tuhan-tuhan yang banyak, melainkan rezim Himyar di Yaman memaksa kaum Nasrani di Najran yang sebagian besarnya berasal dari Etiopia untuk meninggalkan penyembahan kepada Yesus.

Disebutkan dalam Martyrium Arethae, sebuah rangkaian risalah yang ditulis oleh uskup Beth Arsham era Pra Kenabian Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, mengenai ahli kitab di Najran, ditemukan banyak kesamaan dengan beberapa kisah dalam Ibnu Ishaq dan juga beberapa pandangan ulama mengani komunitas Nasrani Najran dan persekusi Yahudi Himyar, seperti teologi monofisit dan trinitas kaum Nasrani di Najran.

Dalam karya yang disusun oleh Irfan Shahid tahun 1971 itu tampak bahwa ahli kitab di Najran (rata-rata dari Etiopia) saat mengalami persekusi Yahudi mempertahankan akidah trinitas mereka, sementara itu, konteks Ashabul Ukhdud dalam Islam justru menunjukkan sebaliknya (non trinity).

Bukti lainnya adalah peristiwa rencana mubahalah (QS. Ali Imron: 61, lihat tafsiran dari Ibnu Katsir) antara utusan Najran dengan Rasulullaah yang ternyata tidak terjadi oleh sebab utusan Najran mundur; menunjukkan teologi Nasrani Najran tidak kompatibel dengan akidah Islam.

Satu-satunya penguat bahwa di Najran ada umat yang memiliki akidah yang diafirmasi oleh Islam kebenarannya adalah kisah Faymiyun (Phemion, Yunani) – seorang ahli kitab yang hanif, dan juga dalam kisah panjang tentang anak muda yang belajar sihir namun berbalik menjadi ahli tauhid, yang lagi-lagi dikatakan terjadi di Najran.

Satu yang pasti, persekusi Najran benar-benar terjadi, dilakukan oleh Yahudi kepada Nasrani, di sana ada parit yang dibakar, dan juga gereja yang dibakar, semua penganut Nasrani dimasukkan hidup-hidup jika tidak mau meninggalkan penyembahan kepada Yesus. Dikatakan, seorang anak berjalan di atas tumpukkan mayat untuk mencari ayahnya, dan ketika ditanyakan oleh raja Yahudi apa yang sedang ia lakukan, sang anak berkata, “Aku ingin mati bersama ayahku.” Disebutkan pula para wanita bergegas menuju bangunan gereja yang dibakar rezim Himyar Yahudi untuk bergabung bersama kaumnya dalam jilatan api.

Terdapat juga paralel dengan sebuah hadis diriwayatkan Imam Muslim mengenai bayi yang berbicara dengan narasi Martyrium Arethae dimana di dalamnya disebutkan ada bayi yang berbicara untuk memperteguh hati sang ibu di tengah pilunya persekusi di tahun 518 M, hari Ahad, di bulan November itu. Anaknya pun lantas berkata, “Wahai ibu, bersabarlah karena engkau di atas kebenaran.” (HR. Muslim no. 3005). Hadis tersebut shahih memang, namun paralel dengan konteks Najran tidak dipastikan kebenarannya, dan bahasan mengenai hal ini merupakan tajuk tersendiri di lain waktu Insya Allah.

Oleh para ulama, Ashabul Ukhdud tidak memiliki tafsiran tunggal mengenai siapa dan dimana peristiwa itu terjadi. Dalam pandangan Ibnu Abbas sebagaimana dikutip Ibnu Katsir dalam At Tafsir beliau, ternyata tafsiran Ashabul Ukhdud bukan saja Najran, tapi kaum Yahudi di Babilonia di era Nabi Daniel, yang berarti kaum Yahudi diaspora era Kuil Pertama di abad 6 SM dan seterusnya. Dari pendapat yang ada, tampaknya inilah yang kuat terkait peristiwa Ashabul Ukhdud.

Konklusi

Sebagai muslim kita mengimani tentang kitab-kitab terdahulu di antaranya Taurat, Zabur, dan Injil sebagai kitab-kitab yang Allah turunkan kepada ahli kitab dengan keimanan yang global. Dalam sejarah kita mendapati persekusi yang diterima ahli tauhid itu datang dari dua arah; dari para penyembah berhala yang disponsori oleh status quo melalui paganisme paksa dan dari kalangan pemeluk agama itu sendiri sebagaimana kasus persekusi Yahudi Himyar kepada Nasrani Najran. Sebab, di awal-awal ajaran Nabi Isa, kaum Yahudi tidak memandang Nasrani sebagai agama tersendiri dan pemeluknya pun tidaklah dianggap keluar dari Yahudi secara umum. Kaum Yahudi memandang ajaran Nasrani adalah bid’ah dari sekte sempalan yang muncul dari dalam tubuh Yahudi sendiri. Sebab, para pemeluk Nasrani awal adalah orang-orang Yahudi, bahkan Yesus sendiri adalah orang Yahudi yang melandasi ajarannya dengan Taurat serta sebagian besar hukum-hukum Yahudi.

Tidak semua orang dapat mengambil pelajaran dari sejarah. Alhasil, persekusi semisal di atas juga dilakukan rezim Ferdinand dan Isabella saat mengusung edict reconquista dimana monarki Katolik tersebut mengusir atau/dan mengkonversi paksa kaum Yahudi dan Umat Islam di Andalusia di penghujung abad 15 M. Sekaligus menunjukkan bahwa terorisme dan ekstrimisme Zionis itu ternyata ada salafnya dari pendahulu mereka dalam kaitannya dengan peristiwa Najran Massacre.

ISIS di sisi lain juga mengusung metode persekusi kepada semua yang dianggap berseberangan dengan dakwah bergaya “convert or die”. ISIS, organisasi seumur jagung yang besar oleh media, tidak bertahan lama. Dari 14 abad perjalanan risalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, ISIS gagal total dalam merebut ortodoksi Islam dengan sebab yang sangat mudah dipahami bahkan oleh kebanyakan muslim yang tidak terpelajar sekalipun. Sebaliknya, besarnya Islam hingga ia tersebar ke seluruh penjuru mata angin ditengarai oleh konsensus ortodoksi Islam yang telah disepakati kaum muslimin sejak generasi pertama (salaf).

Wallahu A’lam.

Wisnu Tanggap Prabowo

***

Bacaan:

Bart D. Ehrman, Andrew S. Jacobs. Christianity in Late Antiquity, 300-450 CE. New York, 2004, OXford University Press.

Irfan Shahid. The Martyrs of Najran – New Document. Geergetown University, 1971.

Islamqa.info

muslim.or.id

Head Image Courtesy: Philip Stallings

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s