Beberapa Catatan Mengenai Kabilah Aus dan Quraidhah

KEGANJILAN DALAM KISAH BANU QURAYZHAH

Barakat Ahmad (1979) dan W. N. Arafat (1976) menulis bahwa banyak porsi dari kisah Banu Qurayzha pada saat perang Ahzab adalah sangat janggal dan tidak logis. Beberapa poin di antaranya adalah:

Masa Banu Qurayzha menerima Sa’d bin Mu’adz r.a. sebagai hakim? Walau Banu Aws dan Banu Qurayzha pernah kerjasama, tapi belum lama sebelumnya Sa’d dan Banu Qurayzha saling menghina. Plus, kabar telah tersiar bahwa Sa’d memang sudah berniat menghukum Banu Qurayzha dengan sangat berat.

________________________________________________
Kita seksamai klaim di atas:

Pernyataan tesis membutuhkan argumen. Ketika sebuah klaim mengenai hal besar hanyalah sebatas opini, maka hanya sebatas improvisasi nalar itu sajalah pisau bedahnya. Asumsi dan skenario-skenario dapat datang dari segala arah mata angin sesuai imajinasi dan muatan perspektif/ideology seseorang, siapapun dia. Namun, seberapa kuatkah daya gedor sebuah opini untuk menggoyang satu keping narasi sejarah yang diafirmasi oleh para pakar di lintas generasi, baik lawan maupun kawan, baik dari timur maupun barat?

Keheranan penulis berasal dari asumsi penulis sendiri bahwa celaan yang terjadi antara Sa’d dan Ka’ab seharusnya (menurut presuposisi penulis) berkonsekuensi seperti ini:

“Semestinya saling cela antara keduanya telah merusak kepercayaan Ka’ab kepada Sa’d, rasa hormat Ka’ab kepada Sa’d, dan membuat Ka’ab lupa dengan seluruh masa-masa damai antara Aus dan Quraidzah dalam tahun-tahun pra kenabian. Oleh sebab itu, tidak mungkin Ka’ab dan kabilah Quraidhah mau menerima Sa’d sebagai hakim.”

Counter 1:

Bismillah

Kita ingat bersama, hubungan antara Anshar dan komunitas Yahudi di Madinah itu kompleks sekaligus emosional. Ia kompleks karena selain terjadi peperangan antara keduanya, juga terjadi sinergi dan ketergantungan antara keduanya dalam masa-masa sebelum kenabian.

Ia emosional karena keduanya berasal dari Yaman (sebagian Yahudi datang langsung dari Syam). Jelaslah Bani Aus dan Quraidhah memiliki ikatan historis yang panjang. Jika mengambil pendapat bahwa komunitas Yahudi Madinah adalah imigrasi dari komunitas Yahudi Yaman, maka antara Kabilah Aus dan Quraidhah telah terjalin interaksi panjang sejak era kerajaan Himyar berabad-abad sebelum masa kenabian.

Dahulu, sesekali mereka berperang di Yathrib, benar, namun mereka juga kembali berdamai dan bersama dalam memakmurkan Yathrib. Jangankan hanya saling bertukar cela antara Ka’ab dan Sa’d radhiallahuanhu, saling bunuh bertukar lemparan tombak dan panah hingga darah bersimbah pun akhirnya kedua kabilah dapat kembali berdamai dan melanjutkan hidup.

Begitu nature mereka, benci tapi cinta, mereka saling bergantung, baik melalui hubungan buruh-pemilik kebun, atau dalam transaksi jual beli di pasar Qaynuqa, bahkan beberapa konversi orang-orang Arab ke agama Yahudi. Bahkan beberapa wanita Yahudi menyusui bayi-bayi Anshar sebab Anshar memandang Yahudi sebagai kaum unggul dan berharap anak laki-laki mereka tumbuh sebagai Yahudi atau minimal mewarisi superioritas Yahudi, tentunya Anshar di sini adalah pra kenabian. Bukti sejarah menunjukkan, seberapapun sengitnya peperangan, kabilah-kabilah di Yathrib selalu menemukan jalan untuk rekonsiliasi.

Saat genting dan terancam, alangkah naifnya jika Ka’ab mempertahankan ego dan kebaperannya karena peristiwa saling tukar cela ketimbang nasib dirinya dan seluruh kabilah yang ia pimpin. Ka’ab adalah pemimpin Quraidhah, memahami Taurat, dan memiliki pengetahuan mengenai karakter dan dinamika hubungan Yahudi-Arab di Yathrib.

Counter 2:

Lagipula, kapankah yang dimaksud “belum lama sebelumnya Sa’d dan Bani Quraidha saling menghina?” Saling menghina itu terjadi hanya sesaat saja dan tidak terjadi dalam jangka panjang dan permanen. Sebab, ketika berita bahwa Quraidhah berkhianat sampai kepada Nabi atas desakkan Huyyay, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Zubair bin Awwam, lalu Sa’ad bin Muadz yang merupakan pemimpin Kabilah Aus, lalu Sa’ad bin Ubadah yang merupakan pemimpin Kabilah Khazraj, lalu Abdullah bin Rawahah, dan Khawwat bin Jubair untuk memeriksa kebenaran berita pemutusan sepihak perjanjian itu. Mereka semua datang bersama.

Saat bertemu Kabilah Quraidhah, Sa’ad bin Ubadah dan kaum Yahudi Quraidhah saling melempar ejekan [Tarikh Thabari].

Sa’ad bin Muadz melobi agar kembali kepada kesepakatan. Namun orang-orang Yahudi Quraidhah justru melontarkan kata-kata celaan kepada Nabi. Mereka berkata, “Siapa itu Rasulullah? Tidak ada kesepakatan atau perjanjian antara kami dengan Muhammad.”

Sebagai mantan sekutu di Yathrib, apakah Ka’ab tidak menyadari bahwa Sa’ad bin Mu’adz seseorang yang cepat naik pitam (sebagaimana pandangan Dr Akram Dhiya Umuri dalam Shahih Sirah Nabi)? Bukankah tidak mustahil Ka’ab memaklumi sikap Sa’ad itu oleh karena Sa’ad dan Ka’ab sudah saling memahami satu sama lain dalam masa-masa panjang di Yathrib sebelum kenabian?

Sekali lagi, ada hal yang jauh lebih besar, lebih penting, lebih mendesak dari sekedar “sakit hati oleh celaan” yang terlontar dari lisan Sa’ad. Saat itu, Ka’ab sedang menyongsong aliansi dengan pasukan ahzab, dan Ka’ab baru saja berkhianat terhadap Rasulullah!

Penulis terjebak dalam asumsi sempit yang ia buat sendiri lalu menyimpulkan darinya tanpa melihat the bigger picture akan dinamika hubungan komunitas Yahudi Madinah dengan Aus-Khazraj.

Counter 3:


Nabi menunjuk Sa’ad bin Mu’adz untuk menjadi pemutus perkara atas Bani Quraidah. Saat Sa’ad bin Mu’adz berada di atas keledainya dalam keadaan sakit akibat luka panah dari Perang Khandaq, orang-orang Kabilah Aus menghampirinya dan membujuk Sa’ad agar berlaku lemah lembut kepada orang-orang Yahudi Quraidhah. Mereka berkata kepada Sa’ad, “Tidaklah Rasulullah menunjukmu melainkan agar engkau berbuat baik pada mereka.”

Mereka terus membujuk Sa’ad agar memberi keringanan kepada sekutu sejak zaman jahiliah itu. Namun Sa’ad justru berkata, “Kini telah tiba saatnya bagi Sa’ad bin Mu’adz untuk bangkit menghadapi orang yang mengecamnya di jalan Allah.” Maksudnya adalah ini saatnya bagi dirinya untuk tidak mengindahkan ucapan orang-orang dalam rangka menghalanginya menegakkan hukum Allah.

Ini menunjukkan, jalina historis antara Aus dan Quraidhah masih membekas dan inilah yang mendorong kabilah Aus memohon kepada Sa’ad untuk berlemah lembut kepada Quraidhah sebagaimana dahulu.

Bagaimana mungkin penulis menyamakan Ka’ab sebagai lelaki “cengeng” yang amatiran dalam memimpin sebuah kabilah. Sebagai pemuka Yahudi yang paham Taurat, Ka’ab bukanlah seorang sosok laki-laki tua yang childish dan jahil dengan etika berkabilah dengan bangsa Arab di Madinah. Salah satu upaya untuk survive bagi komunitas Yahudi di Madinah adalah lobi dan diplomasi selain dari kuatnya sentra ekonomi dan kepemilikan tanah, sebab mereka adalah para pendatang dan bukan dari ras Arab, dan mereka pun jauh dari dukungan Yahudi di Syam. Sebagaimana saat ini meski zionis itu sangat sedikit populasinya, tapi lobinya bisa tembus Washington misalnya.

Penutup

Memang, tidak ada jalan lain menanggapi asumsi penulis dengan asumsi juga. Sah-sah saja setiap orang beropini dan berasumsi dan berteori, tetapi ya itu tadi, tidak semua logam kuning itu emas, bahkan dari jauh saja terlihat kuningnya, namun ketika didekati ia tidak sekeras dan seberat logam sehingga mudah terbawa arus air kali.

Diangkatnya Sa’d menjadi pemutus perkara dalam kasus pengkhhianatan Bani Quraidhah sudah naluriah. Penerimaan Ka’b pun dapat dimaklumi secara historis, tabiat, dan kegentingan situasi dimana Ka’b tidak banyak memiliki opsi. Wallahu A’lam.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s