Evolusi Agama Dan Sejarah Ateisme (2)

Filsuf Modern dan Asal Muasal Agama

Teori non-monoteisme tentang asal-muasal agama tidak melulu didominasi oleh evolusi Darwin melalui Herbert Spencer, animisme Edward Tylor, atau mitologi-nya Max Muller saja. Namun para filsuf modern pun ikut andil. Meski berbeda, teori-teori itu mudah dikompromikan karena berdiri di atas worldview yang sama.

Teori-teori kemunculan agama juga mendapat perhatian bagi para filosof barat dengan cara pandang materialistik mereka. Bagi tokoh sentral dalam psikoanalisis misalnya, Sigmund Freud, agama muncul murni dari aspek kejiwaan manusia akan ide tentang kekuatan maha kuasa. Dalam skenario Freud, kebutuhan adanya konsep tuhan berangkat dari hasrat akan sosok “ayah” yang kuat dan mampu melindungi manusia dari bahaya.

Bagi Freud:

God is simply a projection of these desires, [He is] feared and worshipped by human beings out of an abiding sense of helplessness[1].

Tuhan hanyalah proyeksi dari hasrat-hasrat manusia, [Dia] ditakuti dan disembah oleh manusia sebagai hasil dari rasa ketidakberdayaan [manusia].

Bagi Freud lagi, kemunculan agama adalah hasil dari ilusi manusia. Freud masih “mengakui” sisi baik agama, yakni ia mendorong kemunculan konsep manusia tentang nilai-nilai etis yang esensial bagi kehidupan sosial.

Lain halnya bagi Nietzsche, filosof pencetus nihilisme, seseorang yang mengatakan what doesn’t kill you makes you stronger, mengatakan bahwa tuhan itu hanyalah ide manusia yang subyektif dalam alam pikir manusia dan tidak ada dalam realitas obyektif[2]. Jadi menurut Nietzsche, jika hendak obyektif, maka tolaklah tuhan.

Berbeda lagi teori asal muasal agama dari filsuf Jerman Karl Marx. Marx yang terlahir sebagai seorang Yahudi dan kemudian memeluk Kristen Protestan, hidup di zaman dimana ketidakadilan dan penindasan “kaum kapitalis” dan “borjuis” merajalela.

Kesewenangan, eksploitasi manusia, perbudakan, dan penderitaan mendalam dari kalangan jelata nantinya akan mewarnai corak pemikirannya, termasuk dalam teorinya tentang asal-muasal agama.

Ketika Karl Marx mulai menyelami studi agama, khususnya Kristen, ia menyimpulkan bahwa doktrin Kristen yang menyeru kepada kepatuhan pada otoritas, kebangsawanan, nilai kerendahan hati, dan nilai-nilai moralitas lainnya merupakan manipulasi yang dilakukan oleh kalangan kelas sosial yang lebih tinggi kepada kelas sosial yang lebih rendah agar terus-menerus patuh kepada otoritas. Mereka bagi Marx adalah kaum penindas yang serakah. Oleh sebab itu, agama bagi Marx adalah instrumen untuk mendominasi massa.

Bagi Marx lagi, agama adalah candu masyarakat (opium of the mass)[3] agar manusia dapat keluar dari ketidakberdayaannya dan dapat menalar segala bentuk ketidakadilan yang mereka alami. Baginya, orang beragama adalah orang yang mabuk dan tidak sadarkan diri.

Jika Marx menganggap agama adalah buah dari respon manusia terhadap keadaan ekonomi, maka Robert Wright dalam bukunya The Evolution of God mengatakan bahwa agama itu selalu bernuansa politis. Bagi Wright, agama lahir dari respon manusia terhadap perubahan ekonomi, politik, dan peperangan.

Inilah yang terjadi di peradaban barat pada zaman ”modern”. Wacana keagamaan berpindah dari tangan teolog ke tangan para filosof yang banyak dari mereka mengaku ateismelalui tokoh-tokoh seperti Freud dan Nietzsche – yang “terkenal” dengan slogannya gott is ott, “tuhan” telah mati. Tren ini juga menular ke cabang ilmu lainnya seperti antopologi. Dalam diskursus asal-muasal agama manusia, para sosiolog juga menggunakan teori evolusi Darwin untuk menjustifikasi perubahan agama.[4].

Emile Durkheim misalnya, ia mengatakan bahwa masyarakat itu sendiri sudah cukup sebagai faktor penting bagi lahirnya rasa berketuhanan dalam jiwa[5]. Artinya, kumpulan dari manusia-lah yang menicaptakan tuhan, bukan sebaliknya.

Teori evolusi sebagai kemunculan agama ini tidaklah berlebihan jika berujung pada kesimpulan bahwa “the founding fathers of religions” bagi evolusionis adalah gerombolan simpanse yang kemudian berangsur-angsur beradaptasi – berevolusi sehingga memiliki konsep yang lebih “canggih” seiring perkembangan anatomi tubuhnya, perkembangan sel-sel otaknya yang kemudian terintegrasi dengan evolusi sosial. Semua itu melahirkan konsep agama dan tuhan atau tuhan lalu agama. Agama bagi pengusung teori-teori rasional ini mendudukkan agama sebagai sesuatu yang irasional. Irasionalitas itulah esensi dari agama itu sendiri, irasionalitas itulah yang melahirkan konsep “suci”[6].

Singkatnya, peradaban barat sempat kebingungan dalam mendefinisikan agama. Manusia berupaya menciptakan tuhan, bukan sebaliknya. Tuhan tidak luput dari proses evolusi. Bagi mereka, agama adalah buah dari respon manusia terhadap ekonomi, politik, keinginan bawah sadar, ketakutan, dan kerinduan akan sosok ayah. Manusia adalah pencipta segalanya, termasuk agama dan tuhannya sekaligus.

Mekanisme Pertahanan Monoteisme

Satu dari dua teori arus utama mengenai asal-muasal agama manusia adalah monoteisme. Teori ini singkatnya adalah kebalikan dari teori non-monoteisme dan cara pandang materialisme yang telah disebutkan sebelumnya. Teori monoteisme menyatakan bahwa konsep agama berawal dari adanya pengetahuan tentang satu tuhan dibarengi dengan praktek penyembahan kepada satu tuhan tersebut. Monoteisme dilandasi keyakinan bahwa agama diturunkan langsung oleh tuhan sejak manusia berada di bumi.

Menariknya, kalangan evolusionis sendiri sepakat dengan pengusung teori monoteisme bahwa monoteisme adalah konsep yang luhur dan modern. Meski “keluhuran” dan “kemodernan” monoteisme telah “ijma” di kalangan pengusung teori evolusi dan materialsime sekalipun, pengakuan itu tidak serta merta menjadikan mereka membenarkan bahwa monoteisme adalah agama awal manusia sebab keduanya adalah hal yang berbeda, antara “agama awal” dan “agama luhur”.

Sebaliknya, mereka menggunakan keluhuran monoteisme ini sebagai argumentasi untuk menguatkan pandangan evolusi mereka. Mereka berargumentasi bahwa mustahil monoteisme adalah agama awal manusia sebab konsep agama monoteisme yang luhur ini membutuhkan intelektual yang matang dan maju, sesuatu yang mustahil dimiliki oleh manusia purba di fase awal evolusi. Ini dikarenakan pandangan bahwa pencipta alam semesta yang satu, memiliki kekuatan tak terbatas, memiliki wujud yang berbeda dari ciptaanya, dan tidak dapat digapai oleh indera manusia adalah konsep yang terlampau “canggih” bagi manusia primitif. Fase awal evolusi lebih cocok mewakili teori animistik sebab doktrin animistik cocok dengan intelektual manusia primitif yang dangkal.

Argumentasi evolusionis ini telah dipaparkan oleh Wilhelm Schmidt dalam bukunya berjudul The Origin and Growth of Religion: Facts and Theories, seorang tokoh sentral yang beroposisi dengan para penganut teori non-monoteisme. Schmidt menentang keras teori evolusi dalam kelahiran agama, yakni asumsi bahwa segala sesuatu di alam semesta – termasuk asal mula agama dan konsep tentang tuhan – ditentukan dengan “hukum” garis lurus dari bawah ke atas, bahwa segala sesuatu bergerak dari sesuatu yang simpel menuju kompleksitas, dari kekurang sempurnaan menuju kesempurnaan, dari yang primitif menuju peradaban maju[7].

William Schmidt berkata,

“Seluruh pengusung teori fetishisme, penyembah ruh, animisme, totemisme, dan magisme [semuanya sejalan dengan evolusionis – pen] bersepakat “figur” tuhan yang di atas langit ini harus dihilangkan dari fase awal agama manusia. Sebab, konsep tuhan yang satu di atas langit terlalu “tinggi” dan sulit dijangkau [oleh manusia purba]. Bagi mereka [penganut non-monoteisme], di fase-fase awal ini [konsep akan tuhan] mestinya sangat rendah, yang tidak terlampau berbeda seperti hewan buas. Oleh sebab itu, [konsep] tuhan di langit harus dianggap ada di fase-fase belakangan.”

Bagi mereka lagi, tidak logis bagi kita untuk berharap kemunculan konsep monoteisme yang“luhur” ini dari suatu kumpulan manusia primitif yang tidak mengenal sistem pemerintahan yang terogranisir, masih mengenakan celana dalam, dan tidak memiliki kemampuan berhitung melampaui angka tujuh.”[8]

Memang pada dasarnya, sebagian etnolog dan antropolog barat yang menganggap bahwa agama muncul dari proses evolusi, mitos, dan dongengan manusia telah memegang prinsip bahwa tuhan itu tidak ada sedari awal. Dengan worldview inah mereka melakukan pendekatan filosofis untuk menemukan teori yang pas bagaimana agama itu muncul pertama kalinya.

Mustahil, bagi mereka, untuk menetapkan monoteisme telah ada sejak manusia itu sendiri eksis di bumi. Sebab, penetapan ini akan berbuntut pada pengakuan akan dogma agama. Sehingga penelitian mereka hanyalah untuk menyelidiki dan melegitimasi jawaban atas pertanyaan; mengapa manusia menyembah tuhan padahal di saat yang sama tuhan itu tidak ada?

Sehingga, para antropolog, etnolog, sosiolog, dan sejarawan barat yang mengusung teori non-monoteisme berupaya untuk membuktikan bahwa manuusia-lah yang menciptakan ide tentang tuhan, bukan tuhan yang menciptakan manusia. Manusialah yang membuat konsep tuhan melalui beragam fase dan cara-cara yang kompleks, bukan tuhan yang menurunkan agama-Nya. Sehingga kajian tentang asal-muasal agama ini menawarkan tesis kepada insan dunia; “Apakah tuhan yang menciptakan manusia, ataukah manusia yang menciptakan tuhan?”

Konsekuensi lainnya adalah pertanyaan lanjutan, “Apakah seorang Nabi yang membawa agama dari Pencipta, ataukah kreasi intelektual, hasrat psikis, dan hasil interaksi sosial gerombolan simpanse yang telah berada pada fase evolusi tertentu-lah yang menjadi wadah kemunculan agama itu.”

Evolusi telah menghantarkan manusia untuk menjauh dari tuhan. Mungkin pernyataan Neale Donald Walsch dalam bukunya Tomorrow’s God mewakili fase ini. Ia mengatakan bahwa tuhan dari agama-agama yang ada pada saat ini tidak lagi cocok untuk zaman sekarang, sebab tuhan bagi orang modern haruslah seperti apa yang digambarkan manusia modern. Manusia makhluk berakal (rational animal) harus lebih dominan daripada makhluk tuhan. Pada puncaknya nanti, manusialah yang menciptakan tuhan dengan akalnya.[9]Mungkin ini adalah tahapan evolusi palinng mutakhir dan modern bagi mereka, yakni ateisme.

Implikasi teori non-monoteisme dan materialism ini begitu besar terhadap agama-agama Samawi. Yahudi, Nasrani, dan Islam sama-sama meyakini bahwa agama itu ada di bumi seiring turunnya Adam ke dunia. Usia agama di bumi sama tuanya dengan usia manusia. Kehadirannya ada sejak Adam hadir di bumi. Namun permasalahannya tidak sesederhana itu ketika ada pendaku agama Samawi justru menganut dan mempromosikan teori non-monoteisme ini. Selain itu, teori non-monoteisme juga dalam satu waktu terdapat di buku-buku ajar sekolah bersandingan dengan teori evolusi Darwin dan pembahasan manusia purba.

Dalam tayangan dokumenter berjudul East to West – The Triumph of Monotheism (Dari Timur Hingga Barat – Kejayaan Monoteisme) yang disutradari John Fothergill dan ditulis oleh Prof. Bekir Karliga menawarkan “fresh perspective” tentang kemunculan agama pertama manusia. Tayangan tersebut menggiring kepada persepsi bahwa monoteisme dahulu pada awalnya adalah sebuah ide radikal dan gerakan revolusioner yang muncul di tengah maraknya politeisme. Dalam kata lain, tayangan tersebut mengafirmasi bahwa monoteisme muncul belakangan setelah politeisme. Narator tayangan dokumenter tersebut berkata, “Tidak ada bukti akan keberadaan Abraham.” Beberapa detik kemudian salah satu ahli dalam tayangan itu berkata,

There’s no archeological evidence of Abraham. He didn’t leave a monument in the desert saying, ‘Abraham was here.’

Youtube:

East to West – The Triumph of Monoteism

Karena asal muasal agama harus dibuktikan dengan arkeologi, tayangan dokumenter tersebut membawa pemirsa ke suatu era di sekitar 11.000 tahun silam di suatu tempat bernama Gobekli Tepe di wilayah Mesopotamia bagian atas Turki modern sekarang. Di sana, agama muncul dari upaya para manusia purba yang menyambung hidup dengan berburu untuk memahami dunia, menjelaskan bencana alam, kehidupan, dan kematian. Hingga di akhir tayangan, persepsi yang hendak dikesankan adalah agama awal manusia bukanlah berdasarkan penyembahan satu tuhan apalagi diturunkan oleh Maha Pencipta.

(Wisnu T.P.)

Bersambung Insya Allah

===================

Featured Image: Redbubble.com

Catatan Kaki:

[1] Karen Armstrong. A History of God. New York: ballantine Books 1993. Hal, 357.

[2] Dr. Hamid Fahmy Zarkasy. Misykat: Refleksi Tentang Westernisasi, Liberalisasi, Dan Islam. Jakarta, INSIST – MIUMI, 2012. Hal, 23.

[3] Religion as the Opium of the Masses: A Study of the Contemporary Relevance of Karl Marx. Asian Research Journal of Arts & Social Sciences, published 29 September, 2016.

[4] Op cit., hal, 34.

[5] Dr. Hamid Fahmy Zarkasy. Misykat: Refleksi Tentang Westernisasi, Liberalisasi, Dan Islam. Jakarta, INSIST – MIUMI, 2012. Hal, 21.

[6] Wilhelm Schimdt. The Origin and Growth of Religion: Facts and Theories. Diterjemahkan dari buku asli berbahasa Jerman ke dalam bahasa Inggris oleh H.J. Rose. Methuen & CO. LTD. 36 Essex Street W.C. London. Hal 142.

[7] Louis J. Luzbetak. Wilhelm Schmidt’s Legacy. http://www.internationalbulletin.org/issues/1980-01/1980-01-014-luzbetak.pdf. Akses 2-10-2018. 4.29 AM.

[8] Dr. Winfried Corduan. On the Case for Original Monotheism. Trinities.com. Podcast #96.

[9] Dr. Hamid Fahmy Zarkasy. Misykat: Refleksi Tentang Westernisasi, Liberalisasi, Dan Islam. Jakarta, INSIST – MIUMI, 2012. Hal, 22.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s