Bismillah.
Tatkala kita menyelami sejarah, maka ia akan membuka cakrawala serta memperluas pandangan kita, dan membuat kita memiliki kerendahan hati, sejumlah modal berharga untuk menghidupkan sikap inshof.
Sikap adil utamanya ditempuh melalui pemahaman ilmu Akidah, menyelami Al Qur’an dan Assunnah. Namun bagaimana semua itu diterapkan dalam keseharian di lapangan, tidak ada jalan lain melainkan melalui tarikh dan sirah,
Sebagian kaum muslimin cenderung meromantisasi sejarah Islam, termasuk penulis sendiri beberapa waktu yang cukup lama telah berlalu. Seakan sejarah Islam seluruhnya ideal tanpa keburukan sedikit pun, termasuk mengagungkan kekhilafahan melampaui proporsinya. Padahal dalam sejarah Islam dimana ada kebaikan dan keburukan pada manusia sebagai objek sejarah, justru kesempurnaan Islam dapat lebih jelas tampak. Islam sempurna, para Nabi dan Rasul-Nya pun purna. Namun pemeluk agama yang haq ini adalah manusia.
Menyelami sejarah dengan serius berarti menyelami hal-hal baik dan hal-hal buruk yang terkandung di dalamnya. Kita akan menyelami segala sesuatu yang indah mempesona sekaligus yang buruk rupa. Kita akan menyelami kemegahan dan juga keterpurukkan. Kita akan sadar bahwa sejarah Islam adalah juga bagian dari sejarah manusia, menceritakan manusia dengan berbagai tabiatnya, baik, pertengahan, dan buruknya.
Kita berbicara di luar konteks sejarah para Nabi dan Rasul. Mereka dikecualikan dari bahasan ini karena mereka adalah para Hamba Allah yang telah Allah khususkan dan muliakan dari manusia lainnya. Namun yang dimaksud dalam konteks ini adalah, sejarah Islam mengenai para pemeluknya, yakni manusia.
Ketika menyelami sejarah pula kita akan tersadarkan dan semakin merasa kecil di hadapan Allah, merasa inferior di banding para pendahulu kita yang shalih dan telah mengarungi prahara dan bala. Di antaranya ketika kita menjumpai dalam lembaran sejarah bahwa di antara sahabat pun terdapat fitnah. Padahal generasi sahabat adalah generasi emas, generasi terbaik manusia, dan polopor peradaban Islam.
Menyelami generasi sahabat dan generasi awal Islam akan membuat kerangka berpikir kita terhadap politik Islam berubah. Menyelami sejarah generasi pertama Islam akan menyadarkan sekelompok orang yang sangat utopis dalam memandang kekhalifahan sebagai solusi dari seluruh masalah dari “A sampai Z”, dimana dakwah mereka adalah melulu pembentukkan sistem khalifah sebagai dakwah ideal, adalah keliru dan mendesak bagi mereka untuk segera merubah mindset. Mereka mengaggap segala kekacauan politik yang terjadi pada saat ini akan diselesaikan dalam satu hentakkan, yakni berdirinya khilafah.
Apakah kita lupa bahwa dalam proses berdirinya kekhalifahan, banyak terjadi perang saudara di antara kaum muslimin, dimana darah tumpah dan agama dipertaruhkan, pemberontakkan, pengkhianatan dan pembunuhan, bukan hanya di era Abbasiyah, bahkan di masa awal kekhalifahan Umawiyyah sekalipun.
Kekhalifahan adalah sebuah kondisi ideal yang setiap muslim harus menginginkannya, penulis kira pada poin ini kita semua sepakat. Namun menjadikannya satu-satunya ramuan obat yang menyembuhkan segala macam penyakit maka ini keliru.
Menyelami sejarah Islam generasi awal, kita akan menjumpai bagaimana pemerintahan Bani Umayyah pernah menyerang Makkah dan Madinah. Mereka merusak Ka’bah dan membunuh seorang sahabat mulia dan ini terjadi di zaman dimana masih banyak para sahabat yang hidup. Yang memerintahkan serangan ini pun sah sebagai ulil amri.
Bagi mindset idealis dan utopis, membuka lembaran sejarah Islam dengan serius, besar kemungkinan akan terkejut oleh fakta ini. Mereka bisa jadi kecewa dan lebih parah lagi, kebingungan dan bersikap skeptis.
Tapi ini terjadi, dan ini harus kita terima sebagai fakta sejarah. Kita bersedih? Harus. Namun bagaimana kita bersikap? Inilah fase krusial bagi seorang muslim dan di sinilah fase krusial bagi peminat sejarah Islam. Sebab, banyak yang terjerumus ke dalam kekeliruan melalui konklusi yang salah dalam mendudukkan fitnah yang terjadi di generasi pertama umat Islam.
Maka, mempelajari sejarah akan membawa kita kembali kepada realitas. Ia menyadarkan kita agar segera keluar dari bibit fanatisme. Menyelami sejarah adalah di antara wasilah untuk mencapai sikap inshof dan menumbuhkan kecintaan terhadap sesama muslim dalam koridor akidah yang benar. Menyelami sejarah akan semakin mengagungkan Islam dan mencintai sesama muslim.
Sebab, manusia selalu menjadi objek sentral dalam kajian sejarah. Manusia memiliki sisi baik dan buruk. Tabiat mereka tidak bisa ditebak dengan mudah. Meski demikian, kita bisa melihat apa yang dominan dari suatu kaum. Oleh sebab itu-lah mengapa salafushalih begitu mulia oleh sebab apa yang mendominasinya. Namun demikian, secara individu maka tidak ada seorang pun yang mashum menyerupai para nabi dan rasul.
Menyelami sejarah juga akan menyadarkan kita bahwa kekhalifahan berdiri tidak dengan satu tepukkan tangan dan segala sesuatu menjadi baik, aman, terkendali. Tidak seperti itu sejarah menunjukkan kepada kita.
Kekhilafahan seluruhnya kebaikan pada hakikatnya, namun yang mengusung konsep kekhalifahan ini adalah manusia. Sementara manusia tidak sempurna. Maka kita melihat terkadang sebagian oknum memanfaatkan kekhalifahan ini sebagai alat politis meski kita juga menyaksikan banyak dari para hamba Allah yang menjadikan kekhalifahan untuk menegakkan Islam, tidak selainnya.
Jika kita membaca apa yang terjadi pada Abdullah bin Zubair radhiallahuanhu, hati siapa yang tidak akan pilu? Begitu tragis dan begitu sporadis menghancurkan konsep utopis dan idealis orang-orang yang naïf. Beliau di tahniq ketika bayi oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Kemuliaan ini saja cukup mengangkat derajat beliau sebagai seorang sahabat yang mulia.
Bertahun-tahun silam saat penulis pertama kali membaca kisah ini dalam suatu buku tarikh, penulis tercengang, terkaget, dan sulit mempercayai bahwa ada seorang muslim yang berani berbuat kepada sahabat Abdullah bin Zubair seperti ini. Inilah fakta sejarah, bahwa sahabat Ibn Zubair dibunuh di Ka’bah oleh sesama muslim. Dan ini terjadi saat para sahabat masih banyak yang hidup di tengah-tengah manusia!
Terkait ini, Ahlussunnah memiliki guideline untuk bersikap, yakni tidak berdalam-dalam dengan fitnah yang menimpa generasi pertama Islam yang mulia dan dimuliakan, dan menetapkan bahwa mereka telah berijtihad.
Di antara mereka ada yang lebih mendekati kebenaran dibanding lainnya, dan mereka semua pada dasarnya generasi terbaik secara global dan Surga bagi mereka kita harapkan diberikan oleh Allah kepada mereka. Radhiallahu anhum ajma’in. Ini adalah Takdir Allah, ini adalah Sunnah Allah fii
kholqihi, ini adalah fakta sejarah dengan segudang hikmah. Ia akan menyadarkan kita bahwa dunia ini bukanlah Jannah! Dan dunia ini bukanlah Jahannam.
Menyelami sejarah diharapkan membuat seseorang itu lebih bijak, lebih proporsional, lebih menjaga lisan dan tangan kepada sesama muslim, dan membuat kita sadar, betapa kita hidup di zaman yang lebih rentan fitnahnya dari masa lalu. Menyelami sejarah akan menyadarkan kita untuk tidak memupuk fanatisme golongan dan menyadarkan bahwa menyeru pada non fanatisme apabila dilakukan berlebihan juga akan menjerumuskan seseorang itu ke dalam bentuk fanatisme lainnya.
Medsos misalnya, ia menjadikan sebagian para muslim yang terdidik menjadi seorang komentator wacana-wacana yang datang. Sejarah Islam tidak mengajarkan kita bahwa menjadi penulis anotasi atas wacana menjadikan Islam berada di podium peradaban dunia. Dr Adian Husaini pernah mengatakan bahwa tradisi research di kalangan umat Islam masih kalah dibanding barat, memaksa sebagian umat Islam menjadi reseptor wacana tanpa attempt to counter yang mumpuni.
Selain itu, menyelami sejarah dengan serius dan tidak cherry picking menyadarkan kita bahwa Kekhalifahan adalah sebuah kondisi ideal yang setiap muslim harus menginginkannya, penulis kira poin itu kita semua sepakat. Namun menjadikannya satu-satunya ramuan obat yang menyembuhkan segala macam penyakit maka ini keliru.
Benar, adanya kekhalifahan akan membawa izzah ketimbang kehinaan. Namun adanya kekhalifahan tidak akan menjamin Surga begitu saja. Kekhalifahan adalah sarana di antara sarana. Terlebih lagi jika kekhalifahan diterjemahkan dan dipraktekkan sebagaimana ekstrimis ISIS, maka ini bertentangan dari tujuan kekhalifahan itu sendiri.
Ekstrimisme justru menjatuhkan martabat dan kehormatan Islam di mata dunia dan di mata sesama pemeluk Islam. Sebaliknya, tidak adanya kekhalifahan tidak serta merta memasukkan seseorang ke dalam Jahannam.
Di atas semua itu, menyelami sejarah akan memantapkan kita bahwa Tauhid adalah sebesar-besarnya sebab keselamatan dunia dan Akhirat, lahir dan batin, bukan hanya kekhalifahan.
Menjadi muslim yang inshof melalui sejarah? Ya, ini upaya yang patut dicoba. Sebab, kita tidak akan bertambah proporsional melalui media sosial.
Wallahu A’lam.
Refleksi dan komentar reseptif penulis dari Biografi Sahabat Abdullah
bin Zubair radhiallahuanhuma, disampaikan oleh Dr. Abu Ammar hafizhahullah. May, 20, 2018