Bismillah.
Cukup masyhur mengenai kisah antara seorang pemuda dengan seorang “arkeolog” yang dituturkan oleh Syaikh Ushaimi hafizhahullahu. Berikut cerita yang penulis ambil dari sebuah situs di dunia maya.
=Awal kutipan=
Ada seorang ikhwan salafy mendatangi seorang “arkeolog”, dengan membawa sebuah benda yang mirip fosil mengeras.
Dia lalu bertanya, “Bagaimana menurutmu? Berapa umur benda ini?”
Maka “sang arkeolog” menjawab, “Umurnya sekian ribuan tahun dari zaman begini dan begitu.”
Sang ikhwan bertanya, “Apakah bisa dimakan?”
Sang Arkeolog menjawab dengan heran, “Bagaimana bisa dimakan?”
Maka sang ikhwan langsung menggigit dan memakan benda itu.
Sang arkeolog takjub.
Sang ikhwan kemudian berkata, “Ini makanan yang dikeraskan dari susu, baru saja dibuat ibuku dua hari yang lalu”.
=Selesai kutipan kisah=
Kisah nyata ini diceritakan langsung oleh Syaikh Sholih As-Suhaimi hafizhahullah dalam dars-nya di Masjid Nabawi yang didengar dari ikhwan sang pelaku langsung, beliau menukilnya untuk menjelaskan tentang beberapa cabang ilmu yang manfaatnya tidak jelas dan tidak bermanfaat.
Kita katakan, ini adalah kisah penuh manfaat dari seorang ulama hadis yang dikenal luas keilmuannya yang telah melahirkan banyak karya ilmiah, hafizahullahu.
Kemudian kita katakan pula, jika benar pemuda di atas adalah seorang arkeolog, maka ia adalah seorang arkeolog yang ceroboh, mungkin saja berkata tanpa ilmu, dan tidak itqon dalam memegang amanah ilmiyah dalam disiplin ilmu yang ditekuninya. Di saat yang sama, kita menyepakati bahwa tidak semua khasanah ilmu arkeologi itu dapat bermanfaat bagi seorang muslim, terkhusus bagi agamanya.
Namun demikian, ilmu arkeologi jika ia ditekuni oleh seorang yang ikhlas niatnya untuk memberi manfaat kepada umat Islam, maka cerita ini sejatinya kontraproduktif dengan maksud ini, karena kecerobohan “arkeolog” di atas.
Sebab, menentukan usia suatu benda yang diduga “fosil” memiliki tahapan-tahapan yang berjalan dalam koridor dan metodologi ilmu arkeologi, dan yang demikian itu merupakan landasan tersendiri. Setiap ilmu memiliki ushul. Di antara metode penentuan usia sebuah objek yang diduga “fosil” adalah relative dating dan radiometric dating, dan termasuk ke dalam radiometric dating adalah:
- Radiocarbon dating,
- Potassium-argon dating,
- Uranium-lead dating,
- Uranium-thorium,
- Rubidium-strontium dating.
Penulis bukanlah seorang arkeolog, tidak memiliki otoritas di bidangnya, dan tidak memiliki kepentingan dalam membela para arkeolog dan khasanah ilmu mereka, sebab pembelaan dan perkataan akan dimintai pertanggung-jawabannya, terlebih mengikuti sesuatu yang tidak tahu hakikatnya, melainkan semata upaya untuk mendudukkan sesuatu secara proporsional, sebuah sikap yang menjadi keistimewaan seorang muslim.
Sebagai catatan, Dr Yasir Qadhi, seorang chemical engineer, peneliti transkrip kitab-kitab Ibnu Taimiyah rahimahullah – yang mengambil gelas masternya bidang Akidah di Universitas Islam Madinah dan mengambil gelar doktoralnya di Yale University dengan tesis berjudul “Reconciling Reason and Revelation in the Writings of Ibn Taymiyya”, dimana beliau menyelami kitab klasik karangan Ibnu Taimiyah berjudul Darʾ taʿārud al-ʿaql wa-l-naql, – mengafirmasi bahwa teknik radiocarbon digunakan dalam menentukan usia suatu fosil. Apabila ikhwan salafi tadi bertanya kepada seseorang semisal Dr Yasir Qadhi, hasil akhirnya akan berbeda dari kisah di atas.
Sekali lagi, tidak pula kita menafikkan faidah dari Syaikh Ushaimi hafizhahullah melalui kisah tersebut. Apa yang dikatakannya benar, bahwa terdapat kesia-siaan dalam sejumlah pengetahuan yang berasal dari barat, yang tidak memberi faidah terhadap kehidupan dunianya terlebih menambah keimanannya, bahkan seringkali menyesatkan akidah seorang muslim sebagaimana “ilmu (!) filsafat barat yang melahirkan isme-isme yang terkumpul dalam postmodernisme yang jelas membawa seorang muslim ke lembah jurang kekufuran.
Sekilas tentang beliau hafizhahullah:
Syaikh Ushaimi adalah seorang musnid yang telah menulis banyak kitab, dan beliau adalah ulama dengan “1000 guru di abad 21”. Adapun ikhwan salafi dalam cerita tersebut adalah seorang ikhwan yang memiliki ghirah agama yang tinggi dan memiliki selera humor, semoga Allah Menjaga para ulama, para penuntut ilmu, dan kita semua.
Namun dalam artikel ini, penulis mencoba “mensyarah” kisah sarat manfaat di atas semata-mata agar memberi gambaran yang sedikit lebih utuh mengenai manfaat penelitian peradaban kuno dan umat-umat manusia di bumi, terlepas dari wasilah untuk menuju ke sana apakah melalui arkeologi dan antropologi, it doesn’t matter… Dan upaya ini tentunya sesuai kesanggupan dan keterbatasan penulis dalam melengkapi kkisah ini agar menambah manfaat dari manfaat yang sudah terkandung di dalamnya.
Islamisasi Arkeologi? Perlukah?
Babilonia, Mesir, Yunani, Romawi, China, suku asli Amerika, Australia, Anglo Saxon, Khazar, Lembah Indus, Saba, Nabatea, dan seluruh umat-umat yang mungkin belum teridentifikasi jejak mereka di muka bumi, seluruh umat manusia dimanapun mereka berada, bahasa apapun yang mereka gunakan, di millennium manapun mereka hidup, apapun warna kulitnya dan dari ras manapun mereka berasal, semuanya pasti diseru untuk mentauhidkan Allah.
Selama mereka keturunan Nabi Adam, maka mereka adalah manusia seperti manusia pada hari ini. Maka agama mereka pada dasarnya adalah agama bapaknya, Nabi Adam. Dan tidaklah Adam menjadi seorang Nabi melainkan beliau pasti seseorang yang bertauhid dengan tauhid yang benar di sisi Allah Azza wa Jalla.
Sehingga, jika mengimani bahwa Nabi Adam adalah manusia pertama, maka konsekuensinya adalah mengimani pula bahwa agama asal manusia adalah mengikuti akidah Nabi Adam, alaihissalam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Dan kepada kaum ‘Aad, Kami utus saudara mereka yaitu Hud. Dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya.”(QS. al-A’raaf: 65)
Dan kepada kaum Tsamud, Kami utus saudara mereka yaitu Shalih. Dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. al-A’raaf: 73).
Dan kepada kaum Madyan, Kami utus saudara mereka yaitu Syu’aib. Dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. al-A’raaf: 85).
Dan kepada Mad-yan saudara mereka, Syu’aib. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. (QS. Hud: 84)
Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang mengajak; sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. an-Nahl: 36).
“Sesungguhnya ini adalah agama kamu semua; agama yang satu, dan Aku adalah Rabb-mu, maka sembahlah Aku.” – (QS.Al Anbiya: 92).
Ayat-ayat semisal ini banyak sekali. Apakah itu saja nabi-nabi yang diturunkan kepada manusia? Alangkah sedikitnya mengingat umat manusia itu tersebar di berbagai peradaban di benua-benua lainnya? Apakah Al Quran “memanjakan” bangsa Semit?
“dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu,” (QS. An Nisa: 164).
Tentu saja tidak. Allah menegaskan bahwa masih ada rasul-rasul yang tidak disebutkan dan alasan mengapa Allah tidak menyebutkannya pasti itulah yang terbaik bagi manusia. Meski diperselisihkan derajatnya, Rasulullah shallallahu alaihi wasallama mengatakan 124.000 nabi dan sekitar 315 rasul.
Apakah yang terbaik bagi manusia adalah beriman terhadap rasul-rasul seluruhnya termasuk yang tidak disebutkan? Iya, sami’na wa atho’na. Manfaat lainnya adalah agar manusia menggunakan akalnya untuk memperhatikan benang merah yang sama akan jejak-jejak tauhid di seluruh peradaban manusia.
Apakah hal ini termasuk menebak-nebak perkara ghaib?
Jika seorang mukmin menekuni antropologi dan arkeologi dengan maksud untuk mencari tahu siapa nama-nama rasul yang tidak disebutkan tersebut, atau silsilah mereka, atau ciri fisik mereka, atau mukjizat mereka, atau menyandarkan keimanannya kepada ada tidaknya bukti empirik atau semisalnya, maka ini jelas lembah kebinasaan.
Menemukan pola seragam jejak agama tauhid pada peninggalan umat manusia terdahulu bertujuan untuk mendakwahkan agama tauhid ini kepada sekolompok orang tertentu yang menduga bahwa Islam adalah agama buatan manusia, Al Quran adalah syair dan sihir, anggapan agama manusia pertama adalah politeisme, dan untuk membantah bahwa ada banyak sesembahan, dan penyelewengan akal dan hati dengan mengatakan tuhan itu berjumlah sekian, memiliki anak si fulan, dan semisalnya.
Juga sebagai upaya untuk menulis kembali sejarah yang selama ini ditulis oleh (mayoritasnya) barat, atau ahkan menulis ulang kurikulum pelajaran sekolah bagi anak-anak muslimin di negara-negara dimana kaum muslimin bermukim, dimana materi ajar yang sampai kepada generasi muslimin saat ini seringkali menyimpang jauh dari nilai Islami, dari nilai tauhidy.
Dengan menelusuri jejak peradaban manusia “kuno” di muka bumi, kita akan semakin mengagungkan Allah melalui keselarasan akan kebenaran Al Quran bahwa adalah benar adanya di zaman peradaban “primitif” umat terdahulu kesyirikan itu merajalela.
Katakanlah: “Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)”. (QS. Ar Rum: 42).
Dan reruntuhan peradaban kuno menunjukkan datangnya azab Allah kepada mereka karena kesyirikan mereka.
Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi, lalu memperhatikan betapa kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. (QS. Al Mu’min: 21).
Dan peninggalan arsitektur dan pahatan serta perkakas-perkakas peradaban kuno yang begitu mencengangkan para ahli karena majunya teknologi mereka lebih dari yang selama ini kita kira. Namun demikian mereka tetap dibinasakan karena kesyirikan mereka.
Berapa banyak umat yang telah Kami binasakan sebelum mereka, sedang mereka adalah lebih bagus alat rumah tangganya dan lebih sedap di pandang mata. (QS. Maryam: 74).
Meneluri jejak peradaban kuno memang masih diselimuti misteri dan teka-teki. Berbagai spekulasi dan “tebakkan” masih menyelimuti sebagian aspek arkeologi. Namun bagi seorang mukmin akan tampak jelas dari seluruh temuan reruntuhan dan peninggalan peradaban kuno, bahwa adalah pengingkaran mereka terhadap fitrah mereka untuk menyembah Allah-lah yang menyebabkan mereka lenyap.
Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; Karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). (QS. Ali Imran: 137)
Seorang mukmin tidak harus menjadi arkeolog atau antropolog untuk mempelajari apa yang bermanfaat baginya melalui upaya mencermati peninggalan dan bekas-bekas umat terdahulu, cukuplah ia mengimani perintah Allah dalam Al Quran untuk memperhatikan bekas-bekas yang tampak dari umat terdahulu.
Katakanlah: “Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu”. (QS. Al An’am: 11).
Bahkan, pada dasarnya seorang mukmin yang dekat dengan Al Quran terkumpul padanya insting arkeolog, sejarawan, serta antropolog meski ia tidak berniat menyelami ilmu-ilmu yang sebagian besarnya spekulatif dan terkadang sekuler itu, sebab:
“Berjalanlah kamu (di muka) bumi, lalu perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang berdosa. (QS. An Naml: 69).
Sejauh ini, terdapat selusin lebih peradaban manusia yang orang-orangnya tiba-tiba lenyap secara misterius tanpa meninggalkan petunjuk atas apa yang terjadi pada mereka. Seperti di Eropa misalnya, ada sebuah peradaban yang para penduduknya hilang secara misterius. Hal ini diketahui oleh DNA dari tulang belulang, bahwa terdapat perubahan DNA yang drastis antara dua kurun waktu, menunjukkan bahwa ada kaum yang seluruhnya musnah.
(Minoans, Kreta. Sumber: momtastic.com)
Di antara peradaban yang penduduknya lenyap secara ghaib adalah:
- Peradaban Lembah Indus, Pakistan.
- Peradaban Khmer Empire, Kamboja.
- Anasazi, New Mexico, AS.
- Peradaban Olmec, Meksiko.
- Aksum, Ethiopia.
- Minoans, Kreta.
- Cucuteni-Trypillians, Ukraina & Romania.
- Nabatea, Jordan
- Cahokia, Illinois, AS.
- Mycenaean, Yunani.
- Moche, Peru.
- Clovis, AS.
Benar sekali, salah satu dari peradaban di atas adalah Nabatean, atau Tsamud.
Seolah-olah mereka belum pernah berdiam di tempat itu. Ingatlah, Sesungguhnya kaum Tsamud mengingkari Tuhan mereka. Ingatlah, kebinasaanlah bagi kaum Tsamud.” (QS: Hud 11: 68).
Arkeolog yang tidak beriman kepada Allah dan membenarkan Al Quran akan terus bertanya, mengapa, bagaimana, dan kemana umat manusia yang lenyap secara misterius itu?
Bagi seorang mukmin, arkeolog atau bukan, maka dapat menarik kesimpulan bahwa,
- Kesyirikan merajalela.
Dan betapa banyaknya negeri yang (penduduknya) lebih kuat dari pada (penduduk) negerimu (Muhammad) yang telah mengusirmu itu. Kami telah membinasakan mereka, maka tidak ada seorang penolongpun bagi mereka. (QS: Muhammad [47]: 13).
- Mereka diutus seorang/atau lebih Pemberi Peringatan.
Tiap-tiap umat mempunyai rasul; maka apabila telah datang rasul mereka, diberikanlah keputusan antara mereka dengan adil dan mereka (sedikit pun) tidak dianiaya. (QS. Yunus: 47)
- Mereka Ingkar setelah hujjah tegak dengan jelas dan Azab Allah pun turun,
Dan Kami tidak membinasakan sesuatu negeripun, melainkan sesudah ada baginya orang-orang yang memberi peringatan. (QS. Asy Syu’ara{ 208).
- Dan mereka pun lenyap… musnah. Bagi Allah, itu amatlah mudah.
Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, ‘Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan, dan negeri-negeri yang telah musnah? (QS. At-Taubah: 70).
Kebutuhan para arkeolog atau/dan antropolog yang beriman dan menggunakan Al Quran sebagai landasan penelitiannya akan memberi banyak manfaat yang besar, manfaat yang kiranya sudah semakin mendesak. Sebab, dengan informasi yang terdapat dalam Al Quran, arkeolog bertauhid dengan bekal landasan Islamic worldview serta Quranic mindset yang ajeg, dapat memberi manfaat pada umat Islam dan pada dakwah kepada tauhid secara umum.
Piramida
Butuh waktu ratusan tahun bagi arkeolog barat untuk sampai pada kesimpulan bahwa bahan-bahan Piramida dibangun menggunakan tanah liat yang dibakar. Padahal, Al Quran belasan abad sebelumnya telah menyebutkannya.
Dan berkata Fir’aun:
“Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta”. (QS. Al Qasas: 38).
Juga, butuh waktu belasan abad bagi seorang Arkeolog dari Inggris, Sir Leonard Woolley untuk menemukan bukti cuneiform kuno di Kota Ur yang menegaskan bahwa sesembahan kaum Nabi Ibrahim di Babilonia adalah matahari, buan, dan bintang. Padahal, Al Quran telah menyebutkannya dalam surah Al An’am ayat 74-78.
Begitu juga adanya sungai di dekat Piramida Mesir, begitu juga lokasi Kapal Nabi Nuh, begitu juga penemuan kota pahatan batu Petra di Yordania (Nabatean / Tsamud), begitu juga Bendungan Saba, Sodom dan Gomora, dan masih banyak lagi yang jika dipaparkan akan membuat artikel ini menjadi sangat panjang.
Maka, apakah arkeologi mutlak kebathilan, atau murni kebaikan, atau ambil baiknya dan buang buruknya yang dibebankan oleh mukmin yang kompeten, itqon, ikhlas, sebagai fardhu kifayah demi maslahat bagi kaum muslimin di zaman ini?
Allahu A’lam.
(Wisnu Tanggap Prabowo)
Referensi dan bacaan:
Al Quran Al Karim
https://www.radiocarbon.com/archaeology.htm
http://www.archaeologyexpert.co.uk/archaeologicaldating.html
https://rumaysho.com/3110-ulama-dengan-1000-guru-di-abad-21.html
https://moslemsunnah.wordpress.com/2012/04/25/kisah-lucu-seorang-arkeolog-dengan-pemuda-salafi/
http://www.worldspirituality.org/primitive-monotheism.html
https://muslim.or.id/3252-dakwah-para-nabi-dan-rasul.html
The Thamud: Petra and Madain Salih
https://salafologi.wordpress.com/2018/07/22/mesopotamia-pseudo-archeology-dan-jejak-tauhid/