Ekstrim-isme tampak seperti ideologi tersendiri. Sejarah mengindikasikan “isme” ini dapat menjangkit ke worldview manapun, seakan tidak ada satupun yang kebal terhadap talbis-nya.
Definisi ekstrimisme ini beragam, namun jika dibuat sederhana maka ia adalah perilaku ekstrim dalam ideologi politik atau agama. Kata “ektsrim” dapat muncul kembali dalam definisi di atas, menunjukkan bahwa mendefinisikan “ekstrimisme” agak sedikit tricky. Kita juga mengetahui apa yang mengganjal pendefinisian “terorisme” dalam RUU Pemberantasan Terorisme (?).
Ketika ekstrimisme menyusup ke Yahudi maka hasilnya adalah zionisme. Ketika masuk ke dalam Islam ia menjadi khawarij. Ketika ia menyabotase ajaran Nasrani maka ia menjadi salah satu pemicu peperangan panjang di abad pertengahan yang kita kenal dengan Perang Salib, bukan Perang Bulan Sabit. Ekstrimisme dan terorisme adalah racun nyaris di setiap peradaban baik dahulu maupun pada hari ini.
Ekstrimisme tidak dimonopoli oleh weltanschaung tertentu saja, ia telah meninggalkan jejak yang menembus lintas geografis, generasi, dan ideologi. Tidak bisa dan juga tidak perlu pula dinafikkan sepenuhnya bahwa dalam beberapa dekade terakhir ini, ekstrimisme dalam Islam memang semakin intens dan semakin member efek teror yang hebat.
Racun Peradaban
Meski ekstrimisme telah menjadi penumpang gelap di agama-agama dunia, ternyata dari 1.763 peperangan, “hanya” 123 saja yang terpicu oleh motivasi religius (7%), selebihnya ditengarai oleh kubu sekularisme (non religius) semisal faktor nasionalisme dan atau pemberantasan melawan mafia narkoba (Charles Phillips, Alan Axelford. Encyclopedia of Wars).
Tidak hanya ke dalam agama, ateisme pun menjadi media penghantar ide ekstrimisme. Anders Breivik, seorang pria ateis ini meledakkan bom di Oslo pada tahun 2011 dan menewaskan delapan orang. League of Militant Atheist, sebuah partai komunis yang didirikan tahun 1925 di Uni Soviet ini telah menewaskan 100 pemuka agama Nasrani dan puluhan ribu anggota kependetaan Kristen Ortodoks, serta ribuan orang lainnya hingga tahun 1940. Chapel Hill Shooting di AS, Holdomar di Ukraina, dan Timothy McVeigh di Oklahoma yang menewaskan 168 orang melalui ledakan bom, adalah di antara catatan ekstrimisme dalam ateisme.
Tidak hanya gerakan religius atau politis, ekstrimisme juga menyusup ke dalam ekspedisi mencari jalur laut oleh para penjelajah Eropa abad 15. Sejak kedatangan pelaut Eropa ke benua yang mereka duga “primitif”, sebanyak 100 juta penduduk asli Amerika tewas dan David Stannard dalam bukunya The Conquest of the New World menyebutnya “American Holocaust” (enacademic.com. Population history of American indigenous peoples. Diakses 16 Mei 2018, 15:35). Meski dilakukan oleh oknum yang “menodai” semangat Gold, Gospel, Glory, kasus ini tidak serta merta mewakili ajaran Nasrani yang mengedapankan welas asih itu. Tidak pula kita katakan bahwa Amerika Serikat adalah negara yang dibangun di atas ekstrimisme.
Jika lebih dalam menelusuri lorong gelap sejarah, paham ekstrimisme terkelam justru terjadi pada worldview non religius (sekuler), misalnya bagaimana Adolf Hitler menyatukan Jerman di atas fanatisme dan supremasi ras yang berujung pada kemalangan bagi umat manusia khususnya di Eropa. Di Jerman sendiri, 69 juta warganya tewas (Marschalck, Peter. Bevolkerungsgeschichte Deutschlands im 19. Und 20). Sementara di Perancis akibat invasi Nazi-Jerman sebanyak 41 juta orang tewas (Gregory Frumkin. Population Changes in Europe Since 1939). Invasi Hitler ke Uni Soviet dalam Operasi Barbarosa yang tragis itu berbuntut pada tewasnya 188 juta orang bdi wilayah Uni Soview (R.W. Davies. Economic Transformation of the Soviet Union, 1913-1945).
Awan mendung ekstrimisme tidak hanya terjadi di zaman kegelapan (medieval), namun ia telah berjalan di era antiquity. Pada tahun 614 M, jenderal Sassaniyah-Persia bernama Shahrbaraz atas perintah Khusrow II (Kisra) menggedor gerbang Yerusalem. Saat memasuki kota tersebut, seluruh gereja St. Stephen, Basilica Eleona, Ascension Church dihancurkan. Sebanyak 66.555 umat Nasrani dibantai termasuk wanita dan anak-anak (Karen Armstrong. A History of Jerusalem, One City, Three Faiths, hal 214). Persia bukanlah beragama Yahudi, Nasrani, atau muslim, melainkan beragama Majusi. Ironisnya, tidak terdapat satupun ajaran Zarathustra (Zoroaster) yang mengajarkan pemeluknya untuk membunuh orang yang tidak bersalah sebagai bagian dari peribadatan.
Di era The Dark Age, tepatnya pada 15 Juli 1099, kembali Al Quds direbut oleh “tentara salib”. Puluhan ribu penduduknya dari kalangan Yahudi dan Muslim dibantai (Beginilah Kebiadaban Tentara Salib Saat Rebut Al Aqsa, Republika, Senin 21 September 2015). Lagi-lagi risalah Nabi Isa dinodai oleh tindakan biadab ini.
Ironisnya, The Dark Age tidak membuat kekuasaan yang berdiri di atas nilai Islam menjadi brutal. Sebab, pada masa kekhalifahan Usmaniyah, penaklukkan Al Quds pada “zaman kegelapan” tidak diwarnai aksi pembantaian, pemerkosaan, penjarahan, atau pengusiran. Bahkan seluruh umat beragama terjamin kehidupannya dan aktivitas peribadatannya, baik bagi pemeluk Yahudi, Nasrani Nestorian, ortodoks, katolik Roma, atau umat muslim. Ini jauh berbeda dengan yang kita saksikan kini ketika zionisme bercokol di Al Quds dimana bukan saja terjadi pembunuhan, perampasan, dan pengerusakan properti, namun ditambah juga dengan pengusiran. Sekitar 60 jiwa meninggal dunia akibat agresi Israel di Gaza, seluruh korbannya adalah penduduk sipil (http://abc57.com/news/local-groups-protests-60-palestinians-killed-at-gaza-border)
Di India, Negara mayoritas Hindu terbesar tersebut juga tidak luput dari parasit ekstrimisme ini. Pada tahun 2007, dua ledakan menewaskan 68 jiwa di atas kereta Samjhauta Express. Aksi pemboman ini diduga kuat dilakukan oleh Abhinav Bharat, kelompok fundamentalis HIndu (Smruti Koppikar, The Mirror Explodes. Outlookindia.com). Rohingya pun contoh actual bagaimana ekstrimisme menyelinap ke dalam pemeluk Buddha.
Fitrah Wasathiyah Islam
Meski kini parasit ekstrimisme telah membajak Islam di Indonesia, sejatinya Islam masuk ke nusantara tidaklah melalui jalan kekerasan. Para da’i dari Timur Tengah mendakwahkan rumpun agama Ibrahim yang lurus ini sekaligus berdagang. Aktifitas dagang mereka semata untuk menyambung hidup agar tidak menjadi benalu bagi orang lain. Sebab, Islam mengajarkan pemeluknya untuk mandiri, tidak menjadi beban bagi orang lain, terlebih menzalimi penduduk asli. Bandingkan dengan apa yang dilakukan Portugis dan Belanda melalui kongsi dagang VOC di nusantara. Merkea bukan saja memonopoli dan menindas, namun juga mengekang intelektual dan kebebasan beragama di nusantara.
Tidak ada tempat bagi esktrimisme dalam Islam. Dalam literasi Islam, ekstrimisme bersinggungan dengan ghuluw (berlebih-lebihan). Berlebih-lebihan berarti melampaui porsi dari yang ditentukan sehingga keluar dari tempat yang ditentukan. Meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya adalah kezaliman. Sebagai contoh adalah memposisikan seseorang sebagaimana mestinya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنْزِلُوْا النَّاسَ مَنَازِلَهُمْ
“Tempatkan manusia pada posisi mereka.”
HR. Abu Dawud dari hadits Aisyah radhiallahu ‘anha. Akan tetapi hadis ini dhaif. Sang perawi sendiri berujar, “Maimun Ibnu Abi Syubaib yang membawakan hadits ini dari Aisyah radhiallahu ‘anha, tidak bertemu dengan Aisyah.” (Al Marasil).
Menyematkan ekstrimisme ke dalam Islam menuntut munculnya kesimpulan bahwa Islam adalah agama kezaliman. Di antara bentuk kezaliman adalah kekerasan dan kebrutalan.
Dalam Islam, mengurung seekor kucing hingga mencegahnya keluar untuk menafkahi dirinya dapat berbuntut siksa Neraka sebagaimana hadis shahih riwayat Bukhari dari sahabat Ibnu Umar. Di dalam Islam pula, memberi minum seekor anjing yang kehausan dapat menghantarkan pelakunya ke dalam Surga Allah sebagaimana dalam hadis shahih diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Hurairah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga pernah memerintahkan agar mengembalikan seekor burung kecil kepada induknya, sebab sang induk merasa kebingungan dan kehilangan sebagaimana dalam hadis shahih diriwayatkan Bukhari dari kitab beliau bab Adabul Mufrad. Dalam sebuah hadis, seorang muslim hendaknya menghindari diri dari membunuh semut dan lebah, sebagaimana dalam hadis diriwayatkan Ibnu Majah, Abu Dawud, dan Imam Ahmad dari sahabat Ibnu Abbas.
Jika demikian perlakuan Islam kepada hewan, sulit membayangkan jika Islam memaklumatkan pemeluknya untuk melakukan pembunuhan, pengerusakan, dan tindakan membunuh diri sendiri. Bagaimana mungkin tindakan ekstrimisme yang kita saksikan dapat diterima sebagai bagian dari ajaran Islam ketika seseorang itu lagi-lagi diancam Neraka jika ia membunuh dirinya sendiri sekaligus menghilangkan nyawa seorang non-muslim tanpa hak?
Dalam peperangan misalnya, Islam telah mengatur kode etik tersendiri, 14 abad sebelum diinisiasinya Konferensi Jenewa dan Den Haag. Di antara butir kode etik itu adalah larangan membunuh kaum wanita dan anak-anak, orang tua, kaum lemah, larangan menebang pohon yang berbuah, larangan menghancurkan rumah, larangan membunuh domba kecuali untuk dimakan, larangan membakar sarang lebah dan membakarnya, (a; Muwaththa, Imam Malik, hadis no. 10m bab 21: Kitabul Jihad).
Terdapat lebih dari 1.8 miliar pemeluk Islam di dunia pada tahun 2015 dan Indonesia sendiri merupakan negara mayoritas muslim terbesar (225 juta di tahun 2010). Betapa mengerikannya jika Islam menjadikan ekstrimisme dan terorisme sebagai wasilah mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Dalam aksi 212 misalnya, sebanyak 7.5 juta peserta (Jumlah Peseerta Aksi 212 Mencapai 7.5 Juta Orang. Republika, 4 Desember 2016) berpartisipasi dalam hari bersejarah itu. Jika “nature” Islam itu mengajarkan anarkis, tidak terbayangkan bagaimana ricuhnya ibukota. Namun ternyata aksi tersebut berjalan damai hingga bapak Kapolri sampai berkata, “Tak ada satu cabang pohon pun yang patah karena aksi damai.”
Ilmu Sebagai Pilar Keamanan
Setiap ekstrimisme memiliki pemicu dan sejarah yang berbeda sehingga penanggulangannya pun tidak mesti sama. Dalam Islam misalnya, seluruh tindakan ekstrimisme dalam Islam bermuara pada satu hal, yakni minimnya ilmu, atau pemahaman dan tafsiran yang keliru. Secara historis, kemunculan ekstrimisme dalam Islam muncuk karena interpretasi terhadap teks syariat yang keliru, di antaranya menyelisihi konsensus (ijma’) generasi awal umat Islam, yakni para sahabat radhiallahuanhum atau dikenal juga dengan salaf ash shalih, dan minimnya pemahaman ilmu fikih.
Benarnya pemahaman seorang muslim terhadap agamanya akan membuahkan sikap pertengahan, sebuah sikap yang telah menjadi sebuah fitrah Islam sejak awal. Wasathiyah Islam ini telah purna dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabat.
Tidaklah seorang muslim dapat memiliki sikap adil dan proporsional melainkan dengan ilmu yang memadai sehingga tampak jelas bagaimana Islam itu berjalan di atas fitrah manusia. Manusia mencintai keamanan dan keberlangsungan hidup. Itulah di antara tujuan syariat itu sendiri, yakni menjaga lima hal pokok, agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan.
Maksud dari syariat Islam (maqoshid syar’iyah) bermuara kepada satu tujuan induk yakni mendatangkan manslahat. Jika terdapat dua manfaat, maka diambil manfaat yang paling besar. Jika dihadapkan dengan dua atau tiga mudarat, maka diambil mudarat paling ringan.
Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa berkata, “Bukanlah orang yang berilmu itu mengetahui mana baik dan buruk, melainkan mengetahui mana yang terbaik dari dua kebaikan dan mana yang teringan dari dua keburukan.” Pemahaman dan perilaku ekstrem jelas menyelisihi maqoshid syariah ini.
“Celakalah orang-orang yang ekstrim!” Beliau mengucapkannya tiga kali.” (HR. Muslim no. 2670, dari sahabat Abdullah bin Mas’ud).
Kita melihat betapa mulianya ilmu agama dengan pemahaman yang benar sehingga ia dapat berimbas langsung pada keamanan suatu negeri. Penyuluhan ilmu inilah solusi terpenting dalam meredam ekstrimisme dalam Islam.
Setiap kali terjadi kasus peledakkan bom, umat Islam kerap merasa terpukul dan terpojokkan dan menanggung beban atas sesuatu yang mereka tidak yakini dan lakukan, sebab, pelaku terror itu minoritas dan sama sekali tidak mewakili nilai apapun dalam Islam. Dari perjalanan sejarah dunia, Islam serta seluruh agama lainnya berlepas diri dari parasit ekstrimisme.
Kita mengutuk paham ekstrimisme dan aksi terorisme, namun sejarah membuktikan bahwa menyematkan ekstrimisme dan terorisme kepada suatu agama tertentu adalah keliru. Bahkan, melabeli suatu agama dengan pemahaman ekstrimisme bisa jadi masuk ke dalam bentuk ekstrimisme lainnya.
Image Courtesy: socioecohistory.wordpress.com