Fanaticism (fanatisme) adalah kata yang lahir dari worldview Barat. Secara definitif, fanatisme bermakna sikap intoleransi berlebih terhadap pandangan yang berseberangan baik konteks religius maupun sayap politik. Namun mengapa kemudian istilah fanatisme semakin sering berada dalam “satu paragraf” di lembaran wacana tentang Islam?
Produk Logika Dan Empirisme
Kata Fanaticism sendiri muncul di abad 16. Sumber lainnya mengatakan ia muncul pada tahun 1652. Berasal dari bahasa Perancis Fanatique atau Fanaticus (latin), fanatic adalah seseorang yang memiliki sifat maniak religius yang intoleran. Menariknya, dilihat dari era kemunculannya, istilah fanatic lahir bersamaan dengan kemunculan gerakan filsafat rasionalis antara Age of Reason dan British Empiricism.
Keduanya adalah gerakan filsafat yang menjauh dari agama (teologi) menuju sense experience knowledge dalam menilai kebenaran, atau pengetahuan berdasarkan penginderaan manusia. Sehingga berdasarkan dari definisi dan karakteristik kondisi spiritual dunia Barat di era kemunculan istilah fanaticism, istilah ini hanya relevan disematkan pada worldview Barat dan sejarah spiritualnya sendiri.
Di lain sisi, Islam tidak pernah mengalami keguncangan spiritual dimana kebenaran wahyu digugat, atau para penganutnya beralih kepada kebenaran panca indera kecuali setelah Islam disusupi “isme-isme” melalui redefinisi dan rekonstruksi orientalis sesuai selera ideologi mereka.
Selain itu, tidak pernah terjadi histeria pertentangan antara akal dan syariat (wahyu) karena kesempurnaan syariat Islam mengatur posisi wahyu dan akal dengan jelas dan gamblang. Sehingga, istilah fanaticism dalam Islam harus dikaji kembali karena berpotensi menjadikan yang baik tampak buruk dan sebaliknya.
Fanatisme Barat Yang Kelam
Fanaticism selalu berarti kaku dan intoleran. Padahal dua abad sebelum kemunculan Fanaticism, Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya telah memaparkan bentuk loyalitas yang lebih konstruktif. Ide tentang “fanatisme” Ibnu Khaldun ini kaya akan khasanah sosiologi sekaligus menjalin interaksi positif dengan nilai religious. Sinergi ini diakui sebagai karya fenomenal oleh para intelektual Barat.
Apabila fanaticism telah menjadi istilah yang mustahil lagi dielakkan, maka perlu rasanya menilik kembali bagaimana ashabiyah Ibnu Khaldun meredifinisi fanaticism kendati kedua istilah terpaut lebih dari dua abad. Ini sekaligus bukti kecemerlangan pemikiran Ibnu Khaldun yang visioner dan futuristik, yang termaktub dalam sebuah kata pengantar terpanjang dalam sejarah kepenulisan manusia, Muqaddimah.
Fanatisme Menopang Negara Dan Agama
Fanaticism memiliki common ground dengan ashabiyah, yakni loyalitas dan kolektivitas berdasarkan suatu persamaan. Tetapi dalam fanaticism terdapat makna antusiasme eksesif yang intoleran. Sebaliknya, Ibnu Khaldun memandang fanatisme – jika kita mengambil kesamaan dalam hal loyalitas kelompok – sebagai fitrah manusia untuk berkelompok agar mampu bertahan hidup, namun juga untuk berkembang.
Ibnu Khaldun mengatakan bahwa segala sesuatu yang menjadi tumpuan manusia, maka ia membutuhkan ashabiyah (fanatisme). Dengan ashabiyah, kerajaan, negara, perusahaan, garis keturunan, bahkan dakwah agama dapat tegak.
Adapun arti ashabiyah adalah pertalian nasab dari pihak ayah. Jauh sebelum Ibnu Khaldun ber-kholwat untuk menulis Muqaddimah-nya, ashabiyah telah dikenal oleh syariat, terucap dari lisan manusia yang paling mulia, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Dalam suatu hadis riwayat Abu Dawud, Rasulullah bersabda, ”Bukan termasuk umatku siapa saja yang menyeru orang pada ‘ashabiyah.”
Al Munawi mengatakan, ashabiyah yang dimaksud dalam larangan hadis di atas adalah loyalitas dan tolong-menolong dalam kezaliman. Sedangkan Al Qari mengatakan yang dilarang adalah bahu-membahu untuk menolong orang karena hawa nafsu.
Dalam Muqaddimahnya, Ibnu Khaldun memaparkan ashabiyah sebagai loyalitas berkelompok dalam kaitannya dengan Teori Usia Kerajaan dan Siklus Kekuasaan. Pemikiran Ibnu Khaldun ini sarat akan ide reformatif mengenai berbagai bidang khususnya sosiologi saat itu.
Kekuasaan kerajaan ditopang oleh fanatisme keturunan dan juga hancur oleh fanatisme ketika fanatisme tidak lagi terjaga, sehingga masing-masing dari mereka menginduk pada fanatisme di luar pertalian nasab. Inilah fase kehancuran menurut Ibnu Khaldun.
Meskipun fanatisme nasab esensial dalam sebuah kekuasaan, Ibnu Khaldun meletakkan loyalitas di atas Islam sebagai fanatisme terlanggeng. Ia lebih kokoh dari pertalian nasab masa pra Islam di Jazirah Arab dimana satu anggota kabilah wajib untuk dibela tanpa syarat terlepas ushul perkara; siapa yang dizalimi, siapa yang menzalimi. Ibnu Khaldun tegas menyatakan bahwa persatuan rakyat yang dibentuk melalui peran agama itu tidak dapat ditandingi oleh semangat pertalian nasab dan selainnya.
Oleh sebab itu Ibnu Khaldun melihat bahwa fanatisme juga menopang keberlangsungan menyebarnya ajaran agama. Dakwah Rasulullah yang penuh perjuangan tercatat mendapat dukungan ashabiyah dari garis keturunan keluarga Nabi. Meski demikian, Allah Menghendaki loyalitas di atas Iman dan Kebenaranlah dukungan kebanyakan para sahabatnya berasal, sebagaimana banyak juga penentang dakwah beliau juga berasal dari keluarga besarnya sendiri.
Terkadang ashabiyah di atas Islam dan nasab saling memperkuat berdirinya sebuah kekuasaan. Dinasti Abbasiyah diprakarsai oleh keturunan ahlul bait (Abbas) di atas Islam. Dinasti Umawiyah, Ayyubiyah dan Imperium Utsmaniyyah pun tidak berbeda.
“Fanatisme” di atas iman ini mampu memobilisasi jutaan manusia ke Tanah Suci pada setiap musim haji. Andaikata fanatisme ini didasari oleh perniagaan, pertalian nasab, kekuasaan, atau gabungan keduanya belaka, maka hal ini mustahil terjadi apabila faktanya justru mobilisasi akbar tahunan ini didanai sendiri oleh masing-masing dari mereka secara sukarela dan sukahati.
Fanaticism, Dari Barat Untuk Barat
Menurut Fanaticism barat, segala sesuatu tanpa kompromi adalah intoleransi. Sedangkan Islam tidaklah demikian, tergantung di ranah mana kompromi berada. Jika bukan berada dalam ranah akidah, semisal muamalah, maka terdapat ruang lapang untuk kompromi dan toleransi.
Namun ketika kompromi di ranah muamalah berbenturan dengan akidah, maka toleransi menjadi sempit atau bahkan tidak tersedia. Inilah mekanisme defensif syariat yang telah ada sejak kelahiran Islam itu sendiri. Menyematkan istilah yang berasal worldview dan sejarah pergolakan agama lainnya kepada Islam tidaklah relevan secara historis dan definitif.
Secara sempurna Allah mendefinisikan mengenai loyalitas yang benar. Dalam Al Quran surat Al Mujadalah ayat 22, Allah Azza wa Jalla Berfirman, “Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.”
Begitu juga dalam Al Quran surat At Taubah ayat 23, Allah Berfirman, “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
Oleh sebab itu, sebagai peradaban pelopor nyaris di seluruh cabang sains, umat Islam lebih dari mampu dan perlu memaknai kembali istilah fanaticism ini seiring kerap digunakannya istilah ini untuk memojokkan umat Islam. Bukan menepis fakta adanya sikap dan pandangan ekstrem (ghuluw) dalam Islam, sebagaimana pada agama dan ideologi selainnya, namun terus berupaya menyaring istilah-istilah yang berasal dari worldview lain agar Islam tidak lagi menjadi asing dan usang bagi pemeluknya sendiri.
Worldview Islam Menolak Fanaticism
Ketika fanatisme diartikan sebagai intolerance semisal penolakan terhadap LGBT, Liberalisme Islam, Inkusivisme, Relativisme, Westernisasi, Tafsir Hermeneutika Al Quran, perkara memilih pemimpin kafir, maka di dalam Islam penolakan ini adalah kemestian. Ketegasan akidah ini bukan ruang bagi istilah fanaticism untuk menjelaskan sikap umat Islam ini.
Karena fanaticism secara historis pada saat kemunculannya tidak bersinggungan sama sekali dengan Islam. Ia hanya cocok mendeskripsikan segala sesuatu yang berkaitan dengan guncangan otoritas agama di Eropa (Barat).
Di sisi lain, loyalitas (fanatisme) berlandaskan kebenaran absolut, yakni Al Islam, adalah salah satu tanda besar kebenaran Islam. Loyalitas (al wala wal bara) ini memiliki kolektivitas lintas generasi-lintas benua-lintas ras. Loyalitas ini adalah kekuatan besar yang ditakuti oleh mereka yang berada di luar lingkaran Islam, meski tanpa mengusung senjata sekalipun.
Sejarah banyak mencatat dahsyatnya kekuatan loyalitas di atas iman ini. Ia mampu melampaui kalkulasi rasio dan empiris. Contohnya adalah pada Perang Qadisiyah dimana 30.000 prajurit Islam mampu menebas barisan 120.000 prajurit Romawi Timur dan sekutunya hingga shaf terakhir Heraklius.
Tentu saja fanatisme, sebagaimana pisau, dapat digunakan semata-mata untuk mencederai ketimbang memangkas parasit. Hitler telah membangun fanatisme berlandaskan social hierarchy dan social darwinism kepada 60% lebih rakyat Jerman. Trump pun perlahan mencoba fanatisme yang sama dengan kemasan berbeda.
Dengan fanatisme Zionisme-nya pula Israel menunjukkan intoleransi ekstrem terhadap pemukim Palestina. Kematian sekitar 250.000 jiwa, sebagian besar warga sipil, di Hiroshima dan Nagasaki pada tahu 1945 juga merupakan tindakan fanaticus untuk menghentikan fanatique lainnya.
Sedangkan kemunculan gerakan militansi di Afghanistan, Irak, dan Palestina yang dilabeli fanatic seyogyanya adalah konsekuensi logis dari bully fanatisme lainnya. Respon defensif kemudian ofensif Taliban dan Al Qaeda dalam pandangan Ibnu Khaldun mengenai ashabiyah adalah mekanisme menjaga keberlangsungan kelompok. Mantan anggota parlemen Inggris Goerge Galloway pernah berujar, “One man’s terrorist is another man’s freedom fighter”.
Malangnya, para pemikir Islam gemar meneruskan apa yang para orientalis pun nyaris putus asa untuk mengupayakannya. Dengan menggunakan istilah fanatik dalam mentafsirkan banyak sikap umat Islam tanpa analisa mendalam, menjadika promosi cuma-cuma dan pembuka jalan bagi neo-orientalis dan bibit kemunafikan.
Ketika seorang muslim mengenakan celana di atas mata kaki dan berjenggot, seorang muslimah menggunakan niqab, atau menolak memilih pemimpin non-Islam kemudian dilabeli fanatik, maka KH. Wahid Hasyim rahimahullah pernah berkata, “…timbulnya perkataan ta’asshub (fanatisme) di dalam kalangan Islam ialah setelah orang Barat,merasa tidak dapat menembus keteguhan pendirian umat Islam dengan cara hujjah [argumentasi ilmiah], lalu menuduh ummat Islam adalah fanatik. “
Syubhat “Abu-Abu”
Sebuah surat kabar nasional terbesar pernah menayangkan artikel tentang kebosanan akan cara berpikir hitam-putih; kalau tidak hitam ya putih. Ini sungguh mengherankan. Karena jika fanatisme digunakan dengan adil, maka mereka yang tidak berloyalitas dengan Islam maka otomatis akan berloyalitas dengan selain Islam.
Seseorang yang menolak menjadi fanatik terhadap suatu paham atau keyakinan, maka ia telah terjatuh ke dalam bentuk fanatisme lainnya, meski ia mengklaim dirinya netral. Jika tidak di dalam ruangan, ia berada di luar ruangan. Jika tidak bertuhan maka a-theis. Manusia jika tidak di Surga maka akan di Neraka. Ini (sebenarnya) adalah logika sederhana.
Maka tidak bisa tidak, seseorang harus memilihi tempat berpijak berdasarkan kebenaran sesuai worldview-nya. Bagi umat Islam, meninggalkan “tempat berpijak” Rasulullah, para Sahabatnya, dan para ulama lintas-generasi yang mengikuti mereka dengan baik, otomatis akan membawa ke tempat berpijak golongan yang berseberangan dengan mereka. Jika demikian, selama-lamanya tidak akan beruntung.
Manusia lebih mulia dari sekedar anggapan Aristoteles, yakni sebagai “hewan bermasyarakat” (zoon polticon). Allah telah Memuliakan manusia dengan memberi petunjuk kepada yang benar sekaligus petunjuk untuk berada di golongan yang benar. Inilah kemuliaan derajat manusia dibanding kawanan hewan yang juga, bergolongan, bergerombol dan “bermasyarakat”.
Sehingga ketika seseorang mengabaikan fitrah untuk berada di golongan yang benar ini, maka ia benar-benar berada pada derajat hewan bermasyarakat, tanpa tanda kutip.
Allahu A’lam. Allahul Musta’an
===