Meski Hari Bahari (23 September) setiap tahunnya terkesan minim animo, ia masih menawarkan horison luas untuk menginspirasi negeri. Selain berkaitan dengan potensi wisata pantai, atraksi bentang dan dalam laut, serta aspek terkait kemaritiman lainnya, ia dapat dijadikan sebagai momentum untuk menjaga persatuan umat Islam sekaligus mewaspadai datangnya Hukuman Tuhan dari arah lautan.
Bersama kita segarkan ingatkan bahwasanya Banjir Besar di zaman Nabi Nuh bisa saja kembali terulang, meski memang bentuknya tidak selalu harfiah. Apabila azab menimpa, ia tidak akan menyasar orang-orang zalim saja. Kalangan ulama, cendekia dan jelata pun tak terkecuali.
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kalian. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (QS. Al Anfaal, 25).
Memaknai Hari Bahari sebagai momen mengingat Keagungan Tuhan sejatinya adalah bentuk ibadah berdimensi nasional sekaligus media mempersatukan umat Islam.
Bilakah saatnya memaknai Hari Bahari tidak hanya sebagai momen kebangkitan ekonomi kelautan bagi Indonesia sebagai negara kepulauan, namun juga kebangkitan spiritual bagi Indonesia sebagai negara dengan mayoritas Muslim terbesar?
Founding Father Perkapalan
Selain membawa risalah kenabian, Nabi Nuh bin Lamik alaihissalam secara naluriah adalah pionir naval engineering dunia setelah sukses meluncurkan moda transportasi air pertama bagi umat manusia. Dalam proses desain dan pengerjaan bahteranya, ia mendapat arahan langsung dari Allah.
وَاصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا وَوَحْيِنَا وَلَا تُخَاطِبْنِي فِي الَّذِينَ ظَلَمُوا ۚ إِنَّهُمْ مُغْرَقُونَ
“Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim itu; sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.” (QS. Hud, 37).
Meski belum menjalani pengujian teknis atau sertifikasi dari regulator transportasi manapun, bahtera itu sukses diluncurkan dan beroperasi tanpa cela tanpa tunda.
Sehingga bolehlah Nuh bin Lamik digelari “laksamana tertinggi” sekaligus seorang“admiral chief” kemaritiman dunia. Selain meletakkan dasar-dasar naval engineering, Nabi Nuh adalah seorang Nabi bagi umat Islam dan Nasrani. Lebih jauh lagi, bagi umat Islam, Ia juga Rasul pertama yang diutus kepada umat manusia.
Proporsi informasi mengenai sepak terjang Nabi Nuh cukup signifikan diberitakan di dalam Al Quran. Selain itu, laut adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Nusantara. Para ahli arkeologi bahkan menduga Borneo adalah tempat berlabuh aktifitas pelayaran tertua di dunia pada zaman prehistoris. Belum lama berselang, santer dibicarakan tentang pohon jati berasal dari Pulau Jawa yang diyakini sebagai bahan kayu Kapal Nabi Nuh. Sayangnya, teori yang hanya populer di Indonesia ini minim rujukan ilmiah dan sumber otoritatif. Setidaknya, Hari Bahari terbukti memiliki banyak jalan untuk lebih menggema di benak rakyat Indonesia.
Islamisasi Bahari
Momentum ini juga dapat dijadikan refleksi bagi masa depan peradaban keilmuan umat Islam. Kisah Nabi Nuh menegaskan bahwa kualitas spiritual yang baik akan menghasilkan kegemilangan intelektual. Karena bermuara dari kepatuhan seorang Nabi atas Perintah Tuhannya, lahirlah prototipe, sekaligus magnum opus iptek moda transportasi laut pertama umat Manusia – yang kemudian menjadi salah satu pilar peradaban manusia hingga hari ini.
Sementara itu, pembangkangan kaum Nabi Nuh dari seruan tauhid berujung pada bencana. The Great Flood terus dikaji oleh ahli sejarah dan pakar geologi. Dengan kata lain, bahkan azab Allah bagi kaum yang ingkar pun terus memberi manfaat kepada umat manusia setelahnya bagi mereka yang ingin merenungkan untuk mengambil pelajaran.
Merujuk pada perspektif di atas, jelaslah Islam tidak pernah memisahkan keimanan dengan ilmu pengetahuan (sains). Bahkan keterbelakangan umat Islam justru ketika kita terlalu ceroboh mengekor kepada peradaban yang pernah mengalami The Dark Age (Medieval Era). Padahal, Islam tidak sekalipun pernah mengalami Zaman Kegelapan.
Saat sekularisasi ilmu adalah upaya untuk keluar dari lorong gelap yang membingungkan itu, di saat yang sama, universitas-universitas lahir di Andalusia. Puluhan ribu buku ditulis, diterjemahkan dan dikaji di Baghdad. Islam melahirkan para pelopor ilmu kedokteran, aljabar, astronomi, fisika, kimia, geografi, penyusunan ensiklopedia, dan sosiologi.
Berangkat dari hal itu, agenda Islamisasi dapat kita inisiasi untuk segera menyentuh bidang kelautan. Tentunya bukan melalui pemberian nama-nama Islami kepada kapal-kapal atau menularkan kontroversi ricuh Burkini di pantai wisata nasional, melainkan menerapkan ruh Islam ke dalam spektrum luas kemaritiman sehingga tujuan syariat sebagai sarana memberi manfaat bagi seluruh makhluk bernyawa tanpa terkecuali dapat terlaksana. Salah satunya mengkaji dengan jujur dan amanah mengenai siapa yang lebih berhak menikmati wilayah pantai terkait reklamasi.
Sejatinya Islamisasi adalah karakter Islam yang sesungguhnya, dan bukan akulturasi. Islam bukan produk budaya Arab. Sebab praktek kehidupan Jahiliyyah di-Islamkan. Menikah disucikan, berdagang ditertibkan, berperang diatur, ibadah ditentukan dengan tata cara khusus, kemusyrikan di-tauhid-kan. (Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, M.A. Ed, M. Phil – Islamisasi Sains).”
Bahtera Baru Nabi Nuh
Kita masih membutuhkan Bahtera Nabi Nuh lainnya. Yakni bahtera untuk mempersatukan, mempererat ukhuwah dalam mengarungi lautan fitnah, syubhat, dan prahara perpecahan yang tak bertepi di akhir zaman ini. Dengan menciptakan konsep Noah’s Ark, diharapkan umat Islam di Indonesia bersatu di atas satu bahtera dengan keseragaman haluan di bawah satu nahkoda.
Sehingga siapa saja yang memisahkan diri dari jamaah, tiada pilihan lain baginya selain tenggelam di lautan dan tergulung ombak. Akan tetapi bukan dengan aksi saling lempar ke luar kapal atau saling sikut dan hantam memperebutkan roda kemudi, melainkan bersama dengan keeratan ukhuwah mengarungi usia dunia yang tersisa dengan selamat.
Karena tak syak lagi, siapa saja yang ingin selamat dan ingin berada di atas bahtera, wajib baginya untuk beriman dan taat kepada satu nahkoda untuk berlayar ke destinasi yang telah ditentukan. Bukankah kita mengimani bahwa Rasulullah adalah “Nahkoda” yang diberi legitimasi dan otoritas dari Allah untuk memimpin dan “menavigasi” umatnya berdasarkan Al Quran sebagai penunjuk arah yang mustahil salah?
Salah satu pengundang musibah adalah terbiasa dengan sikap permisif terhadap kemungkaran, termasuk menyelisihi panduan dan petunjuk Al Quran. Telah final apa yang Al Quran tentukan agar memilih nahkoda dari golongan kanan. Oleh karenanya, jangan salahkan siapapun selain diri kita ketika badai demi badai akan menerpa karena kelalaian kita sendiri. Tentunya kita berharap hal itu dijauhkan dari kita semua.
Allahu A’lam. Allahul Musta’an.
===
Image Courtesy: http://www.knowmuhammad.org