Rowling menggambarkan tokoh Lord Voldemort sebagai makhluk jahat penebar teror. Begitu besar pengaruh terornya sehingga tidak ada seorangpun yang boleh menyebut namanya. Ia dijuluki dengan He-Who-Must-Not-Be-Named, Dia Yang Tidak Boleh Disebut.
Mengucapkan kata “bom” di bandara dan kabin penumpang saat mengudara memiliki kemiripan efek bagi sekitar dengan karakteristik Lord Voldemort ini. Kata “It-Which-Must-Not-Be-Said” ini bukan saja mempertanyakan definisi lucu bagi mereka yang mengemasnya dalam guyonan, namun juga mendebat makna `kebebasan berbicara.
Oxford Dictionaries mendefinisikan frredom of speech sebagai hak untuk mengemukakan pendapat tanpa sensor dan pembatasan, sedangkan Merriam-Webster Dictionary mendefinisikan “teror” sebagai perasaan takut yang hebat, atau sesuatu yang menghasilkannya. Jika keduanya dikaitkan mentah-mentah, maka sampai kapan pun hasilnya akan kontra-produktif. Mengucapkan kata “bom” dalam bandara atau kabin pesawat meski dalam konteks guyonan, sejatinya tindakan tersebut meneruskan efek psikologis aksi teror secara verbal (?).
Duhai malangnya, kata “eksplosif” ini tidak termaktub dalam regulasi penerbangan secara spesifik. Meski pada dasarnya, tidak ada kata yang haram untuk diucapkan seseorang dalam penerbangan komersial atau ketika berada di bandara, hal ini cukup ironis ketika justru salah satu korban utama rentetan aksi terorisme adalah industri penerbangan sipil dunia.
Terorisme “Merombak” Regulasi Aviasi
Regulasi, desain pintu kokpit, prosedur okupansi kokpit, kehadiran sky marshal yang menyamar di kabin penumpang, pengamanan ketat bandara, rekomendasi modifikasi/penambahan instrumen navigasi, serta prosedur baru dalam interaksi antara pilot dan kopilot adalah beberapa di antara perubahan signifikan dunia penerbangan terkait catatan panjang aksi terorisme. Lebih jauh lagi, efek teror tidak hanya signifikan bagi psikologis penumpang udara, namun juga bagi penerbang.
Pada tahun 2012 silam, pilot maskapai JetBlue asal AS, Clayton Osbon, sekonyong-konyong bertingkah di luar kendali dan berteriak histeris dengan melontarkan kata-kata ancaman bom dan serangan teroris. Beberapa penumpang pria kemudian berhasil “melumpuhkannya” dengan mengikatnya sehingga kopilot dapat mendaratkan pesawat Airbus A320 tersebut dengan selamat. Kapten pilot kawakan tersebut tidak dalam keadaan mabuk atau didiagnosa mengidap anxiety disorder.
Tidak Lucu
Di seluruh dunia, kasus “guyonan bom” ini terus terjadi di setiap tahunnya. Di Amerika Serikat sendiri tidak ada regulasi yang menyebut kata-kata tertentu dalam penerbangan atau di bandara. Adapun sisi pelanggaran hukum insiden seperti ini termasuk ke dalam tindakan yang meresahkan orang lain, baik itu melalui perilaku maupun ucapan.
Di Indonesia sendiri tindakan seperti itu masuk ke dalam penyebaran informasi palsu dan mengganggu ketertiban, dan dapat terancam tindakan pidana melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Pasal 347 dengan satu tahun pidana. Sedangkan di Amerika Serikat, pelaku dapat dikenai hukuman hingga 20 tahun penjara dan denda sekitar 50 ribu dolar AS.
Memang meng”humor”kan aksi teror sah-sah saja dalam konteks freedom of speech. Sebagai contoh yang terjadi baru-baru ini adalah guyonan para Netizen secara tidak sadar telah me-deradikalisasi efek psikologis teror Bom Sarinah. Tidak hanya itu, sentimen romantisme pun disuarakan sejumlah kaum hawa terkait aksi salah seorang aparat kepolisian (yang dinilai) rupawan dengan dandanan mentereng, serta mengenakan sejumlah aksesoris branded, layaknya strategi product placement Aston Martin dalam seri-seri James Bond 007.
Tentunya berbeda antara canda dan ancaman. Ancaman bom secara umum didefinisikan sebagai ancaman berupa tulisan atau ucapan yang menyatakan bahwa si oknum akan memicu bahan peledak demi terciptanya kerusakan properti, kematian, atau cedera, terlepas ada atau tidaknya bahan peledak tersebut (Alfred Dalizon – Aviation Security Group, Journal.com).
Namun justru pasca-tragedi Bom Sarinah, telah terjadi sedikitnya enam kasus hukum yang meresahkan penumpang penerbangan domestik melalui “lelucon” bom ini. Dan semuanya terjadi di bulan Januari 2016 saja!
Pada tanggal 20 Januari 2016, seorang mahasiswi asal Ternate diamankan petugas keamanan bandara setelah penumpang Lion Air JT-777 tersebut beberapa kali mengaku membawa bom saat berada di walk through metal detector Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar.
Sehari sebelumnya tiga mahasiswi penumpang maskapai Sriwijaya Air penerbangan SJ231 juga diamankan karena kasus serupa di Bandara Adi Sutjipto. Tanggal 17 Januari, seorang “terpelajar” lainnya juga melontarkan lelucon yang sama saat hendak menuju Timika menggunakan maskapai Lion Air.
Uniknya, tidak hanya dari kalangan intelektual, insiden ini juga melibatkan pegawai pemerintahan. Pada tanggal 11 Januari 2015 silam, seorang PNS Pemprov Papua juga melakukan tindakan serupa. Saat melewati alat screening pendeteksi metal yang berbunyi, ia berkelakar dirinya membawa bom.
Tidak hanya itu, insiden seperti ini juga melibatkan aparat penegak hukum. Pada tanggal 10 Januari 2016, seorang anggota polisi Polda Bali juga terlibat insiden serupa. Penumpang Lion Air tersebut diamankan setelah melontarkan lelucon mengenai bom saat sedang melewati pemeriksaan x-ray sehingga dirinya tidak diperkenankan memasuki kabin pesawat. Insiden ini mengakibatkan penerbangan Lion Air 645 terlambat sekitar 1 jam. Sepekan kemudian, seorang anggota TNI AD juga terlibat insiden serupa.
Sedangkan salah satu contoh kasus yang mungkin benar-benar “lucu” terjadi pada bulan April 2013 silam. Penumpang pria di Bandara John F. Kennedy, New York, Jason Michael Cruz, harus berurusan dengan pihak aviation security setelah dirinya mengucapkan kata “bom”. Setelah diselidiki, Cruz dan seorang rekannya sedang membicarakan tentang menu makanan bernama “bomb sandwich” yang terkenal di beberapa restoran di New York.
Kepekaan Cermin Kualitas Intelektual
Secara psikologis, terbang bagi sebagian orang sudah merupakan perjuangan tersendiri. Peristiwa 9/11, Malaysia Airlines MH370 dan MH17, dan Germanwings masih meninggalkan bekas di benak sebagian penumpang udara. Selain itu, sulit dibayangkan “penderitaan” seorang dengan fobia terbang (fear of flying) yang sedang berusaha menenangkan dirinya ketika satu per satu mesin pesawat dinyalakan, sekonyong-konyong terdengar olehnya kata “eksplosif” yang diucapkan orang lain di dalam kabin.
Apakah dunia penerbangan dengan gejala irrational fear seperti ini yang kita kehendaki? Bukankah itu berarti turut mewujudkan salah satu tujuan aksi teror? Atau sebaliknya, apakah ini langkah yang sudah terbukti sukses dan efektif demi menutup celah aksi teroris?
Pada akhirnya apapun itu, kebebasan berekspresi secara alamiah membatasi maknanya sendiri. Menebar ketakutan dan kebencian melalui guyonan – baik itu dalam bentuk ucapan, bahasa tubuh, karikatur atau semisalnya – sepertinya sulit diterima oleh akal sehat. Bahkan, tidaklah mustahil kebebasan berkelakar seperti itu justru mengundang reaksi lanjutan berupa bentuk “teror” lainnya, sehingga kita akan selalu berputar-putar dalam lingkaran yang kita buat sendiri.
Ketika berada di bandara atau di dalam kabin pesawat, meresahkan dan membuat orang lain takut sejatinya harus dihindarkan tanpa kompromi. Hal tersebut sulit dilakukan kecuali bagi pribadian yang terbebas dari karakter emotionless Lord Voldemort. Selanjutnya, para penumpang juga berhak untuk terbebas dari segala bentuk teror di bandara seperti aksi oknum porter dan pegawai bandara yang mencuri barang bawaan penumpang.
Jika memang seseorang harus berkelakar saat menggunakan moda transportasi udara, ada baiknya menimbang dahulu efek bagi sekitar. Jika itu terlalu merepotkan, hal yang sederhana adalah berbicara yang baik atau diam. Namun jika kegemaran berkelakar dan berbicara sulit dibendung, membahas hal yang menyenangkan adan menenangkan untuk didengar juga merupakan sebuah alternatif, seperti bagaimana cara menanam bunga mawar atau tingkah laku para komikal yang tampil di Kompas TV.
===
Dimuat di situs Runway Aviation, Januari 2016.